Jumat, 17 April 2009

NTT selenggarakan pendidikan layanan khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *

Sumber:
(http://spiritentete.blogspot.com/2008/03/ntt-selenggarakan-pendidikan-layanan.html)

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya. Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri. Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Sumber :
(http://pelangi.dit-plp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=582&Itemid=206)
Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)


Sumber :

(http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34)

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).


Sumber :

(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm)

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus (KLK)

Dinas Pendidikan Kota Semarang merupakan salah satu dari 35 kota/kabupaten penyelenggara Kelas Layanan Khusus (KLK) di Indonesia. Program Kelas Layanan Khusus adalah program layanan pendidikan bagi anak usia SD yang putus sekolah atau sama sekali belum bersekolah pada usia 7 - 14 tahun. Tujuannya agar anak-anak usia tersebut yang putus sekolah atau belum pernah bersekolah dapat memperoleh layanan pendidikan di SD sampai tamat.

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di suatu sekolah bersifat tidak permanen. Tugas sekolah sebagai Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus akan berakhir ketika di sekitar sekolah sudah tidak ada lagi anak-anak usia SD yang putus sekolah atau belum bersekolah. Oleh karena itu setiap tahun pelajaran baru diadakan verifikasi terhadap kelayakan SD penyelenggara KLK. SD. Badarharjo 02 Kecamatan Semarang Utara pada tahun pelajaran 2008/2009 masih termasuk salah satu SD yang berhak menyelenggarakan KLK sesuai dengan verifikasi Dir. Pembinaan TK/SD.

sumber: http://www.disdik-kotasmg.org/v8/index.php?option=com_content&task=view&id=82&Itemid=1

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

Sumber :
(http://www.antara.co.id/arc/2007/12/16/baru-64000-anak-cacat-mendapat-pendidikan-khusus/)

Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

sumber:(www.jatim.go.id/hsn/toeb)a

PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT ANGKATAN V

Keberadaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang diundangkan tanggal 5 April 2006, tidak saja memberikan kepastian hukum dan status hukum bagi advokat sebagai penegak hukum, yang berprofesi memberikan jasa hukum, (seperti : memberikan konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentngan klien), tetapi juga menuntut lahirnya advokat-advokat yang profesional, demi terciptanya hukum dan keadilan.

Syarat untuk menjadi advokat antara lain adalah lulus pendidikan tinggi hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian advokat, serta telah magang selama dua tahun berturut-turut di kantor advokat. Pelaksanaan pendidikan khusus dan ujian advokat menjadi kewenangan organisasi profesi. Selain itu organisasi profesi juga melakukan pengangkatan, pengawasan (oleh Dewan Pengawas) serta menindak, termasuk memberhentikan advokat (oleh Dewan Kehormatan).

Selama ini organisasi advokat tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang dideklarasi oleh organisasi profesi Advokat Indoensia yang terdiri dari: Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal Indonesia (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Menurut Undang-Undang Advokat, organisasi profesi harus sudah terbentuk selambat-lambatnya 2 tahun. Amanat UU Advokat sudah terealisasi dengan dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Kewenangan yang diberikan kepada organisasi profesi Advokat (PERADI) untuk menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, diharapkan dapat memenuhi standar kualitas profesi advokat. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan kerangka dan rancangan materi program pendidikan khusus profesi advokat dengan jumlah sesi dan bobot dari masing-masing sesi mata ajar.

Kewenangan pada PERADI untuk menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, dapat dilaksanakan sendiri oleh PERADI maupun dilaksanakan oleh PERADI dan bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan/profesi lainnya.

Dalam kaitannya dengan maksud tersebut diatas, Unika Atma Jaya bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI).
sumber:
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=4193

Kamis, 16 April 2009

Korelasi UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Keagamaan

Pada tanggal 10 Maret 2009 Kantor Depag Kota Semarang mengadakan Rapat Kerja (Raker). Raker diikuti oleh Kepala KUA, Pejabat struktural di lingkungan Depag dan beberapa Kepala MI atau MTs. Pada salah satu sesi raker tersebut, Dinas Pendidikan Kota Semarang turut menyampaikan materi dengan topik Korelasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Pada materi yang disampaikan diulas tentang hirarki regulasi dari UUD 1945 sampai turunnya PP 55/2007 tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Oleh karenanya Pendidikan keagamaan jelas merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal tersebut menyiratkan arti pentingnya pendidikan agama dan keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasiona.


www.disdik-kotasmg.org

Kurangnya Pendidikan Agama Picu Kekerasan

Pendidikan menjadi kunci utama pembentukan kepribadian anak. Pertambahan usia anak memiliki konsekuensi pada perubahan proses pendidikan yang mereka terima. Oleh sebab itu, bertambah usia anak dan berubahnya perilaku mereka harus disertai pendidikan yang tepat sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidikan agama menempati posisi yang vital menyertai proses pendidikan anak. Kurangnya pendidikan agama dapat memicu tindak kekerasan. Berikut perbincangan Reporter CMM Yulmedia dengan Hj. Nidalia Djohansyah Makki. Anggota Komisi II DPR RI:

Tindak kekerasan marak di mana-mana. Perilaku tersebut ternyata merambah pada lembaga pendidikan, IPDN misalnya. Mengapa demikian?
Peristiwa ini telah membuka mata kita, mengetuk pintu relung hati hati kita yang paling dalam, apakah dari bangku pendidikan yang ada sekarang ini ajaran yang menyangkut moral, pendidikan agama serta tuntunan yang menjunjung tinggi bahasa nurani dan kemanusiaan masihkah dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah yang bakal melahirkankan generasi-generasi untuk memimpin bangsa ini selanjutnya? Karena kita tahu, manusia tidak bisa hanya disuguhkan ilmu pengetahuan an sich (semata), melainkan juga perlu diimbangi dengan suguhan-suguhan untuk mengisi ruang-ruang spiritual yang ada pada diri masing-masing kita, seperti nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Intinya, ajaran-ajaran atau pendidikan berlandaskan keagamaan mesti selalu ada.

Berbicara pendidikan agama, faktor apa yang dapat mempengaruhi perkembangan keagamaan kita?
Perkembangan keagamaan anak, antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di luar sekolah termasuk dalam keluarga. Kedua, faktor makanan yang disajikan orangtua untuk anak. Al-Qur-’an mengisyaratkan agar memakan makanan dan meminum minuman yang halal dan baik (halalan thayyiba). Makanan yang disediakan orang- tua adalah bahan dasar yang akan mengalir dalam darah anak. Jika makanan itu halal dan baik, maka akan baik pulalah akibatnya pada masa depan dan kehidupan anak. Ketiga, faktor doa yang menjadi kekuatan spiritual bagi perkembangan anak. Secara sederhana, doa adalah suatu harapan yang diwujudkan dalam ucapan dan perilaku. Ucapan buruk orangtua kepada anaknya bisa menjadi doa. Demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya, hindarilah kata-kata yang berisi laknatan kepada anak. Berikan ucapan dan kata-kata yang mulia untuk anak-anak. Tunjukan perilaku yang terpuji di hadapan anak. Hindari percekcokan di depan anak.

Dalam membimbing perkembangan keagamaan sang anak apa saja yang mesti diperhatikan?
Kita semua dilahirkan dalam keadaan suci. Lahir bersih tanpa noda apapun. Dalam al-Quran dijelaskan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur,” (QS an-Nahl [16]: 78). Sejak lahir itulah setiap individu mulai dihiasi warna-warni kehidupan, sehingga selama proses perawatan ini pula, tumbuh kesadaran cinta kasih sebagai fitrah yang dianugerahkan-Nya. Membimbing perkembangan keagamaan anak seyogyanya dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar shalat dan mengaji, belajar berbuat kepada orangtua dan sesama manusia. Mendekatkan anak pada agama dapat pula dilakukan dengan mengondisikannya dalam ruang kehidupan yang serba teratur dengan tetap memelihara kebebasan dan kreativitasnya. Bimbinglah dan perkenalkan anak pada lingkungan yang religius. Ciptakan suasana rumah dalam nuansa yang religius, pilihlah lingkungan sosial yang memungkinkan anak belajar beragama, serta kondisikan anak untuk memilih sendiri sekolah dengan warna agama yang lebih dominan.

Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam memberikan pendidikan keagamaan pada anak?
Keteladanan merupakan kunci keberhasilan dalam mendidik anak. Lebih-lebih pada usia yang penuh diwarnai dengan perilaku meniru. Anak akan melakukan apa yang dilakukan orangtua serta orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, didiklah anak atas dasar kasih sayang, penuh perhatian dan pengertian, serta dalam suasana dan sikap yang penuh kesabaran. Pesan-pesan al-Quran dalam memberikan pendidikan salat kepada anak, secara implisit sekaligus memaparkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak. Salat juga mengajarkan kebersihan, sebab salah satu syarat dalam melaksanakan salat adalah bersih dari hadats dan najis. Dengan salat juga kita dapat melatih anak menutup aurat dan menanamkan kesadaran jenis kelamin. Sebab salat mensyaratkan menutup aurat, dan ketika berjamaah terikat dengan ketentuan imam dan makmum. Mendidik anak salat juga sekaligus mendidik anak belajar membaca al-Quran, sebab dalam pelaksanaan salat terdapat kewajiban membaca surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya dalam al-Quran. Lebih penting lagi adalah membina dan membimbing anak dalam hidup berjamaah. Inilah, antara lain, prinsip pendidikan yang integratif, yang akan membawa anak didik memasuki dunia komprehensif.(CMM)


Sumber :

(http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4263_0_3_0_M)

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.

Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.

Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.

Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.

Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.

Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.

Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.

Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.

Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.

“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.

Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.

Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).

Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.

Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.

Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.

Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.

Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma’arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.

Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.

Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan “larangan” surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.

Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. “Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama,” katanya.

Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.

Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. “Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat,” ujar Arifin.

Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.

Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.

Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.

Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk “Dukungan Dana APBD”. Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, “… sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,… dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai.”

Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. “Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri,” katanya. “Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan.”

Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. “Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.”

Ditegaskan pula, “Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan.” Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.

Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.

Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma’ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: “Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.”

Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. “Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat,” kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.

Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. “Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya,” kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.

Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. “Itu juga diskriminasi,” katanya.

Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. “Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum,” katanya. “Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh.”

Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.

“Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun,” ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. “Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan.” Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.

Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. “Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran,” katanya. “Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup.” Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. “Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah,” ujarnya.

Asrori S. Karni, Wisnu Wage Pamungkas (Bandung), Rosul Sihotang (Medan), Wayan Bakori (Denpasar), dan Antonius Un Taolin (Kupang)
[Pendidikan, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 17 Januari 2008]


Sumber :

(http://apit.wordpress.com/2008/02/01/pendidikan-keagamaan-politik-pendidikan-penebus-dosa/)

Negara Jangan Belenggu Pengelolaan Pendidikan Keagamaan

JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodok
Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP Pendidikan
Keagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalam
menempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia.
"Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknas
hendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengatur
penyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwan
kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .
Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihat
hegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP itu
hampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapa
kentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negara
seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.
Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semua
komponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensi
begitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMM
siap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoni
negara kepada masyarakat," katanya.
Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentang
jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantren
tercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknya
hal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.
Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yang
secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,
dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam
pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan.
"Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa
membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan
secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama
tertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.
Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama
tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas
yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan
semua," ujarnya.
Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikan
keagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,
menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama
tertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknas
tidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolah
pendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.
Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar
kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur
pendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang
pendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya
sekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.
Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdas
diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah
kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan
bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan
berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama
SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yang
tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas
kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.
Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat
(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang
sederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal
20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikan
menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'. (E-5)

Sumber :
(http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Soal-Penyusunan-RPP-Pendidikan-Keagamaan)

Selasa, 14 April 2009

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal

Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.

Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .

Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.

Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.

Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.

Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."

Sumber: Pers Depdiknas
e-smartschool.com

Kenapa Perlu Belajar Sejak Usia Dini ?

PENDIDIKAN ANAK USIA BAWAH LIMA TAHUN

PALING PENTING DAN PALING MENENTUKAN KEHIDUPAN SESEORANG

Usia di bawah lima tahun (balita) adalah usia yang paling kritis atau paling menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Termasuk juga pengembangan intelegensi hampir seluruhnya terjadi pada usia di bawah lima tahun. Kalau seseorang sudah terlanjur menjadi pencuri atau penjahat, maka pendidikan Universitas bagi orang tersebut boleh dikatakan tidak berarti apa-apa. Sebagaimana halnya sebatang pohon bambu, setelah tua susah dibengkokkan.


Anak-anak pada usia di bawah lima tahun memiliki intelegensi laten (potential intelegence) yang luar biasa. Namun pada umumnya para orangtua dan guru hanya bisa mengajarkan sedikit hal pada anak-anak. Sesungguhnya anak-anak usia muda tidak “complicated” (ruwet) dalam belajar, tetapi orangtua atau guru yang bermasalah. Pada umumnya kita selalu menyalahkan anak-anak apabila tingkah laku mereka tidak seperti yang kita inginkan. Hal ini lebih banyak disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman kita terhadap perkembangan jiwa anak, sehingga kita sering memperlakukannya dengan tidak/kurang tepat.


Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa dan kemampuan untuk menyerap informasi sangat tinggi. Kebanyakan orang tidak mengenali dan memahami kemampuan 'magic' yang ada pada anak-anak. Mereka hanya bisa berkata, "Saya tahu anak-anak belajar lebih cepat", tetapi mereka tidak tahu seberapa cepat anak-anak bisa belajar. Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan orang tua dan guru-guru maka potensi luar biasa yang ada pada setiap anak sebagian besar tersia-siakan.


Umumnya orang siap mengorbankan waktu bertahun-tahun dan uang berjuta-juta rupiah untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi ; untuk apa ? --- untuk mendapatkan sedikit tambahan intelegensi, karena sedikitnya kemampuan sel-sel otak yang tersisa. Sebaliknya orang kurang memperhatikan pendidikan anak-anak pada usia muda. Anak-anak usia belia memiliki bermilyar-milyar sel-sel syaraf otak yang sedang ber-kembang dan memiliki kemampuan yang dahsyat….serta daya memory yang kuat. Maka pendidikan yang me-nanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (pengembangan intelegensi/kecerdasan, karakter, kreativitas, moral, dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan pada anak-anak sejak usia muda.


Oleh karena itu Pendidikan Pre-School dan Taman Kanak-Kanak tidak boleh dianggap sepele dan diabaikan. Bahkan pendidikan bayi sejak usia nol tahun (baru lahir) atau bahkan sejak bayi masih dalam kandungan sudah saatnya dikembangkan. Guru-guru dan fasilitas yang terbaik semestinya diprioritaskan pada lembaga pendidikan kanak-kanak. Dedikasi yang tulus dari guru-guru dan dukungan sepenuhnya dari orangtua anak akan menjamin keberhasilan pendidikan anak-anak.


Kerjasama yang baik antara guru dengan orang tua anak sangat diperlukan.


pompom-school.tripod.com


A. PENDAHULUAN
Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.
Mencermati perkembangan anak dan perlunya pembelajaran pada anak usia dini, tampaklah bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan, dan 2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Menyikapi perkembangan anak usia dini, perlu adanya suatu program pendidikan yang didisain sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Kita perlu kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara psikologis nyaman. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini dikemukan bagaimana Mantessori mendisain program pembelajaran untuk anak usia dini.
B. PEMBAHASAN
Tokoh pendidikan anak usia dini, Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa-masa yang sangat baik untuk suatu formasio atau pembentukan. Masa ini juga masa yang paling penting dalam masa perkembangan anak, baik secara fisik, mental maupun spritual. Di dalam keluarga dan pendidikan demokratis orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, baik dan tepat bagi setiap orang tua dan pendidik yang terlibat pada proses pembentukan ini, mengetahui, memahami perkembangan anak usia dini. Tapi sekolah kita belum memiliki based line data yang holistik yang dapat memberikan berbagai informasi tentang perkembangan behavior dan kesulitan belajar anak terhadap berbagai subkompetensi materi sulit. Informasi ini sangat diperlukan untuk melakukan treatmen secara berjenjang tentang perkembangan anak sejak usia dini sampai mereka dewasa (SLTA).
Perkembangan Anak Usia Dini
Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.
Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
Masa usia 2 – 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.
Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat.

Pembelajaran Pada Taman kanak-Kanak
Anak taman kanak-kanak termasuk dalam kelompok umum prasekolah. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan menciptakan sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering mengulangi perbuatan yang diminatinya dan melakukan secara wajar tanpa rasa malu. Di taman kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.
Sehubungan dengan ciri-ciri di atas maka tugas perkembangan yang diemban anak-anak adalah:
Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
Membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri
Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya
Mengembangkan peran sosial sebagai lelaki atau perempuan
Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam hidup sehari-hari
Mengembangkan hati nurani, penghayatan moral dan sopan santun
Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, matematika dan berhitung
Mengembangkan diri untuk mencapai kemerdekaan diri.
Dengan adanya tugas perkembangan yang diemban anak-anak, diperlukan adanya pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan, suasana riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca,menulis, berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.
Pada usia lima tahun pada umumnya anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan sudah siap untuk belajar hal-hal yang semakin tidak sederhana dan berada pada waktu yang cukup lama di sekolah. Setelah apada usia 2-3 tahun mengalami perkembangan yang cepat. Pada usia enam tahun, pada umumnya anak-anak telah mengalami perkembangan dan kecakapan bermacam-macam keterampilan fisik. Mereka sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti meloncat, melompat, menangkap, melempar, dan menghindar. Pada umumnya mereka juga sudah dapat naik sepeda mini atau sepeda roda tiga. Kadang-kadang untuk anak-anak tertentu keterampilan-keterampilan ini telah dikuasainya pada usia 4-5 tahun.
Montessori memberikan gambaran peran guru dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kecerdasan, sebagai berikut:
a. 80 % aktifitas bebas dan 20 % aktifitas yanag diarahkan guru
b. melakukan berbagai tugas yang mendorong anak untuk memikirkan tentang hubungan dengan orang lain
c. menawarkan kesempatran untuk menjalin hubungan social melalui interaksi yang bebas
d. dalil-dalil ditemukan sendiri, tidak disajikan oleh guru
e. atauran pengucapan didapat melalui pengenalan pola, bukan dengan hafalan
setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran
Montessori, mengatakan bahwa pada usia 3-5 tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar mengetik. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Ada suatu penelitian di Amerika yang menyimpulkan bahwa kenyataannya anak-anak dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca pada usia 3 tahun, 6 % pada usia empat tahun, dan sekitar 20 % pada usia 5 tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di taman kanak-kanak dengan kemampuan membaca memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada tahun-tahun berikutnya.
Pendapat Montessori ini didukung oleh Moore, seorang sosiolog dan pendidik, meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang paling kreaktif dan produktif bagi anak-anak. Oleh karena itu, sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, enteng tanpa membebani dan merampas dunia kanak-kanak mereka.
Salah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis, sekaligus menawarkan kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya relasi dan komunikasi yang hangat dan akrab. .
Pada masa usia 2 – 6 tahun, anak sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri, karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga mencul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu. Guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.
Perlu diingat juga bahwa minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, karena itu guru dan orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang bervariasi dan tidak menerapkan disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang kecerdasannya dengan cepat kalau diberi penghargaan dan pujian yang disertai kasih sayang, dengan tetap memberikan pengertian kalau mereka melakukan kesalahan atau kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak-anak akan berkembang emosi dan intelektualnya, yang penting adalah pemberian pujian dan penghargaan secara wajar.
Untuk memfasilatasi tingkat perkembangan fisik anak, pada taman kanak-kanak perlu dibuat adanya arena bermain yang dilengkapi dengan alat-alat peraga dan alat-alat keterampilan lainnya, karena pada usia 2- 6 tahun tingkat perkembangan fisik anak berkembang sangat cepat, dan pada umur tersebut anak-anak perlu dikenalkan dengan fasilitas dan alat-alat untuk bermain, guna lebih memacu perkembangan fisik sekaligus perkembangan psikis anak terutama untuk kecerdasan.
Banyak penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil pada umumnya berasal dari keluarga yang demokratis, suka melakukan uji coba, suka menyelidiki sesuatu, suka berpergian (menjelajah alam dan tempat), dan aktif, tak pernh diam dan berpangku tangan. Ingat keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial and error), mangadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh sesuatu objek, mengalami dan melakukan sesuatu , anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar dengan mampu memanfaatkan atau menerapkan apa yang telah dipelajari.
C. KESIMPULAN
Dalam mengimplementasikan konsep Montessori terhadap program pendidikan bagi anak usia dini perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kukrikulum pada pendidikan anak usia dini didesain berdasarkan tingkat perkembangan anak.
2. Materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.
3. Kompetensi akademis merupakan alat untuk mencapai tujuan,dan manipulasi dilihat sebagai materi yang berguna untuk poengembangan diri anak, Montessori menganjurkan perlu adanya area yang berbeda mewakili lingkungan yang disediakan, yaitu:
a. Practical life memberikan pengembangan dari tugas organisasional dan urutan kognisi melalui perawatan diri sendiri, perawatan lingkungan, melatih rasa syukur dan saling menghormati, dan koordinasi dari pergerakan fisik,
b. The sensorial area membuat anak mampu untuk mengurut, mengklasifikasi dan menerangkan impresi sensori dalam hubungannya dengan panjang, lebar, temperatur, masa, warna, titik, dan lain-lain.
c. Mathematics memanfaatkan pemanipulasian materi agar anak mampu untuk menginternalisasi konsep angka, symbol, urutan operasi, dan memorisasi dari fakta dasar
d. Language art yang di dalamnya termasuk pengembangan bahasa lisan, tulisan, membaca, kajian tentang grammar, dramatisasi, dan kesusesteraan anak-anak. Keahlian dasar dalam menulis dan membaca dikembangkan melalui penggunaan huruf dari kertas, kata-kata dari kertas pasir, dan berbagai prestasi yang memungkinkan anak-anak untuk menghubungkan antara bunyi dan simbul huruf, dan mengekpresikan pemikiran mereka melalui menulis.
e. Cultural activies membawa anak-anak untuk mengetahui dasar-dasar geografis, sejarah dan ilmu sosail. Musik, dan seni lainnya merupakan bagian dari kurikulum terintegrasi.
4. Lingkungan pendidikan anak usia dini menggabungkan fungsi psiko-sosial, fisik dan akademis dari seorang anak. Tugas pentingnya adalah untuk menyediakan dasar yang awal dan umum, dimana di dalamnya termasuk tingkah laku yang positif terhadap sekolah, inner security, kebiasaan untuk berinisiatif, kemampuan untuk mengambil keputusan, disiplin diri dan rasa tanggung jawab anggota kelas lainnya, sekolah dan komunitas. Dasar ini akan membuat anak-anak mampu untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang lebih spesifik dalam kehidupan sekolah mereka.

Oleh: Harizal Kasubdit Harlindung PTK-PNF dan jugaguru.com