Minggu, 15 Maret 2009

Posted by pataka on May 2nd, 2005

(Berbagai Paradigma Serta Perubahan Budaya Menyongsong Era Informasi, Globalisasi dan Otonomi Pendidikan)

Pengantar

Proses demokratisasi di Indonesia telah menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock). Secara alamiah, manusia cenderung mencari kemapanan sehingga tidak menyukai perubahan, apalagi yang berlangsung sangat cepat. Sedangkan Indonesia selama tiga dasa warsa didominasi iklim kekuasaan otoritarian, sentralistik dan status quo. Sehingga masa reformasi adalah periode yang dipenuhi kontradiksi di semua bidang kehidupan.

Namun, manusia dikaruniai kemampuan beradaptasi, sehingga reformasi merupakan tempat untuk melakukan dan menerima perubahan. Dan ini merupakan esensi upaya untuk tetap bertahan hidup, naluri survival.

Keterkejutan ini menciptakan kesadaran baru, selama ini kita ternyata hidup di alam mimpi indah namun realitanya tertinggal dari bangsa lain. Bangsa kita ibarat baru saja lahir kembali, belajar mandiri secara instan sembari saling cakar. Di sisi lain SDA yang dibanggakan dan diandalkan ternyata telah dikuras untuk kemakmuran sebagian orang saja, praktis tidak ada lagi potensi tersisa selain tumpukan hutang, bom politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan dan berbagai masalah yang tanpa ujung pangkal.

Hanya sedikit anak muda bangsa yang mampu bertahan dalam perubahan ini, sebagian besar menyerah karena tidak memiliki daya. PHK dan pengangguran, kemiskinan terjadi di seluruh negeri. Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas.

Maka kita harus berupaya bangkit dengan segala keterbatasan. Untuk itu kita harus memiliki semangat dan wawasan luas, yang sedini mungkin harus ditanamkan melalui mekanisme pendidikan untuk seluruh bangsa, terutama generasi muda. Terlepas apakah kita terlambat atau tidak, upaya memperbaiki budaya dan SDM harus menjadi prioritas, karena itulah potensi / modal terbesar kita saat ini. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan

Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru.

Proses Ini harus disadari sebagai suatu proses revolusi budaya dan cara berpikir yang membutuhkan keyakinan kuat, keteguhan hati, kejujuran, kreatifitas dan optimisme serta keberanian. Terutama untuk mengakui kelemahan dan kesalahan serta tentu saja pikiran dan hati yang terbuka terhadap semua masukan dari siapapun. Dan yang lebih penting lagi, adalah komitmen untuk bekerja keras menjadikan porses ini suatu kenyataan.

Bila kita ingin bangsa ini survive, maka semua ini bukanlah suatu pilihan, melainkan justru harus disadari bahwa hanya inilah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.

Paradigma Perubahan Budaya, Penddikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Iptek adalah produk budaya, sehingga iklim kultural dan pola pikir suatu bangsa sangat menentukan perkembangan Iptek. Negara maju adalah contoh, dimana budaya yang demokratis berpengaruh kuat terhadap kemajuan Iptek. Indonesia punya kultur yang luhur yang seharusnya mampu mendorong suatu kemajuan.

Selama ini budaya justru disalahgunakan sebagai alat untuk menguasai dan membatasi. Untuk itu diperlukan reformasi dunia pendidikan untuk merubah budaya yang salah arah tersebut. Mengapa dunia pendidikan ? Karena melalui dunia pendidikan proses penyadaran dapat dilakukan secara sistemik. Kedua menyangkut sebagian besar generasi muda bangsa yang bakal menjadi jaminan bangsa ini di masa depan. Ketiga dengan pendidikanlah generasi muda dan masyarakat akan memahami pentingnya Iptek.

Semula dunia pendidikan kita dikooptasi kekuasaan sebagai alat indoktrinasi bangsa maka di masa sekarang dunia pendidikan harus ditempatkan pada posisi yang proporsional sesuai amanat pembukaan konstitusi kita. Yaitu mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memberi kesejahteraan lahir dan batin. Slogannya adalah mencetak SDM yang berkualitas sekaligus memiliki imtaq.

Tahun 2003 pasar bebas ASEAN dimulai dan akan diikuti masuknya SDM asing dengan kualifikasi internasional untuk mengisi pasar profesional di negeri kita. Inilah tantangan yang nyata. Akibatnya pasar dunia kerja yang sudah sempit akan makin ketat persaingannya. Padahal angkatan kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita saat ini boleh dibilang tidak memiliki keunggulan yang dapat diandalkan, apalagi pengalaman.

Perubahan budaya dengan pendekatan top down melalui kebijakan pemerintah memerlukan proses panjang dan tidak terjamin keberhasilannya. Sedang waktu kita sangat terbatas. Oleh karena itu masyarakat harus proaktif melakukan stimulasi langsung di lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian perubahan budaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali dunia pendidikan nasional dapat dipercepat.

Langkah konkretnya adalah dengan mewujudkan semangat otonomi pendidikan seluas-luasnya. Dalam proses ini diperlukan keberanian para pelaku di jajaran struktural, peserta didik, keluarga dan masyarakat luas untuk melakukan inovasi dan improvisasi. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai otorita melainkan sebagai fasilitator dan pengayom sekaligus penjamin kontinuitas proses demokratisasi ini. Sinergi diantara komponen ini diharapkan akan cepat menciptakan demokratisasi kependidikan yang kita harapkan.

Sekolah, Lembaga Pendidikan Utama

Sebagaimana kita melihat piramida masyarakat modern, dalam proses menuju kemajuan itu diperlukan kelas menengah yang mature. Paradigma inipun boleh kita aplikasikan ke dalam dunia pendidikan. Lapis tengah itu seharusnya dipegang bukan oleh institusi pendidikan tinggi melainkan sekolah menengah.
PT seharusnya menjadi tempat bagi proses pendidikan yang terfokus pada satu bidang, atau spesialisasi, sedangkan sekolah menengah yang bersifat umum lebih tepat sebagai tempat pendewasaan, mengolah semua potensi dan menemukan jati diri. Namun selama ini tidak demikian, proses pematangan pendidikan baru terjadi di tingkat PT. Padahal mereka justru telah dituntut oleh masyarakat untuk bersikap dewasa dan profesional. Oleh karena itu saat ini kita harus mulai melakukan proses pendewasaan sejak di tingkat sekolah menengah.

Di masa lalu sekolah dijadikan lembaga pengajaran dan indoktrinasi, sedang kepentingan masyarakat dikesampingkan. Ini terjadi akibat penguasa yang berkarakter militeristik dan otoritarian yang mempertahankan kekuasaannya melalui penciptaan struktur masyarakat mono loyalitas. Sekolah sebagai lembaga ilmiah tidak memiliki kebebasan menentukan identitas dan jati dirinya. Justru sekolah dimanfaatkan untuk indoktrinasi, bahkan program wajib belajar di tingkat dasar pun menjadi media intelektual brainwashing secara struktural. Pendeknya, dunia pendidikan adalah mesin cetak karakter sesuai kehendak penguasa.

Pemerintah secara sepihak telah menentukan suatu ‘blue print’ identitas yang seragam tidak hanya bagi siswa namun juga menyangkut seluruh institusi pendidikan bahkan seluruh masyarakat. Mereka harus menerima dan patuh tidak peduli apakah itu sesuai dengan kesadaran budaya masyarakat lokal. Indoktrinasi itu sendiri sebenarnya justru menimbulkan kontradiksi dalam masyarakat Akhir-akhir ini kita ketahui dampaknya setelah muncul konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat. Dan sebenarnya hal tersebut (penyeragaman identitas) tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan saja namun hampir pada semua sendi peri kehidupan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan tentu saja budaya.

Karena itu problema psikologis menyangkut eksistensi (self esteem) yang sangat penting bagi remaja dalam membangun identitasnya menjadi hal klasik. Padahal siswa dan remaja bukanlah tentara yang dapat dipaksa menerima satu doktrin. Remaja pelajar adalah individu yang bebas dan memiliki ciri khas sesuai potensi yang dimilikinya. Potensi yang harus digali, dibina, dikembangkan serta diekspresikan sesuai cara mereka sendiri. Namun karena sistem yang otoriter justru tidak ada tempat bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya.

Mereka terbelenggu dan yang tak mampu mengikuti mainstream akhirnya, alih2 dilindungi dan diberdayakan, justru terpinggirkan. Dampaknya bisa kita lihat dari berbagai kenakalan remaja yang terus marak dari hari ke hari. Sedangkan sistem pendidikan saat ini pun salah dalam mensikapi kenakalan tersebut, bukannya dibina sesuai dengan filosofi pendidikan (fisik, psikis, nalar) justru ditinggalkan. Bahkan tidak jarang digolongkan ke dalam kriminalisme, padahal mereka itulah yang justru paling membutuhkan pendidikan.

Kenakalan remaja adalah salah satu bukti terjadinya proses pelarian akibat saluran internal dalam sekolah yang tersumbat. Padahal sekolah seharusnya menjadi akomodator. Selain tentunya faktor pengaruh lingkungan masyarakat yang menjadi pendorong. Ini adalah masalah pokok dan kesalahan manajemen pendidikan yang tanpa disadari justru menjadi pemicu paling menonjol dan berperan besar dalam kasus kenakalan remaja.

Kita ambil contoh tawuran. Pemerintah menyebut penyebabnya adalah faktor ekternal seperti kekerasan di media ataupun masyarakat yang cenderung individualistik. Namun kenyataannya di daerah atau desa yang relatif pengaruh ekternal tidak terlalu besar, bahkan nuansa religius dan budaya lokalnya sangat kuat, tawuran tetap terjadi.

Sejumlah pakar psikologi remaja mendefinisikan faktor pemicu tawuran, yaitu apa yang disebut sebagai false indentity atau identitas palsu. Yang mengejutkan identitas palsu ini bukan diciptakan oleh masyarakat (bila kita mengacu pada teori kekerasan di media), melainkan justru diciptakan oleh dunia pendidikan itu sendiri melalui simbol dan mekanisme kependidikan yang tidak akomodatif. Dunia pendidikan kita memang gagal menyerap aspirasi dan menyalurkan energi kreatif yang dimiliki civitasnya, semata hanya karena sistem yang stagnan dan kaku serta cenderung enggan menerima perubahan (status quo).

Sebagai bukti kita bisa contohkan tawuran pelajar antara SMU dengan STM. Pemicunya sangat sepele, karena seragam. Mereka memandang seragam adalah simbol identitas. Loyalitas korps terakumulasi dan diekspresikan dalam bentuk kebanggaan yang berlebihan. Ini bisa terjadi karena mereka memang oleh dunia pendidikan kita selama ini diindoktrinasi seperti tentara. Mereka secara sistemik diberikan identitas palsu tersebut, bahwa mereka memiliki korps dan dibedakan secara tidak adil dengan stigma, STM lebih rendah dari SMU. Akibatnya muncul sakit hati dan dendam yang tentu saja tidak dapat tersalurkan.

Dalam realitas sosial masyarakat kita pun memang STM dipandang sebagai sekolah ‘kelas dua’ yang dianggap hanya menghasilkan kelas pekerja rendahan. Padahal stigma semacam ini jelas kontradiktif dengan kondisi dunia kerja kita, justru sektor yang diisi oleh tenaga terampil dari sekolah kejuruan sangat dibutuhkan sebagai SDM penggerak pembangunan yang tetap dapat bertahan dalam kondisi krisis. Sedangkan para tenaga kerja ‘berdasi’ yang dalam strata sosial masyarakat digolongkan sebagai pegawai kelas ‘priyayi’ justru tumbang diterpa badai krisis ekonomi. Lulusan non kejuruan yang selama ini dielus-elus oleh masyarakat dan pemerintah ternyata sangat rapuh.

Di era yang sangat plural sekarang ini, seragam bukanlah hal yang pokok dalam dunia pendidikan. Pendapat yang menyatakan bahwa seragam untuk menetralisir gap, mendidik disiplin dan loyalitas justru mengakibatkan euphoria korps yang tidak pada tempatnya. Gap dan kasta dalam masyarakat ada karena proses sosial yang tidak seimbang, tentu tidak akan hilang atau ditutupi (cover up) oleh selembar seragam. Bahkan kehadiran seragam justru semakin memisahkan siswa yang memakainya dari realita, karena mereka menjumpai warna seragam yang sama tapi harganya bisa sangat jauh berbeda. Faktanya fungsi seragam dari hari ke hari semakin tidak memiliki makna selain untuk media coretan di akhir masa sekolah.

Seragam bahkan justru menimbulkan berbagai persoalan sejak dari awal dia harus dikenakan. Siswa secara rasional tidak bisa memahami dan menerima alasan ‘mengapa mereka harus memakai seragam’ sehingga yang tersisa hanyalah perasaan terpaksa dan frustasi yang tidak terungkapkan dan lambat laun menjadi dendam. Sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul berbagai ‘kreatifitas’ yang mereka lakukan terhadap seragamnya. Termasuk pelampiasan ‘coretan kelulusan’. Karena hanya dengan cara demikian mereka dapat ‘membalas dendam’ terhadap seragam yang telah memasung jati diri dan kreatifitas mereka selama bertahun-tahun. Apalagi ternyata yang namanya seragam tidak hanya satu macam saja. Contohnya seragam Pramuka, untuk apa mereka membeli dan dipaksa memakai sedangkan mereka sama sekali tidak berminat dengan kegiatan kepanduan ?

Pendapat yang militer sentris warisan kolonial dan masa penjajahan Jepang itu dengan sendirinya tidak relevan dengan masyarakat sipil modern yang plural dan demokratis ini. Masyarakat memahami bahwa disiplin dan kebanggaan memang penting, bahkan mungkin kita akan bicara nasionalisme di sini, namun semua itu tidak akan lahir hanya karena seragam atau upacara setiap Senin pagi yang hanya mengakibatkan sinisme, sehingga bahkan untuk menertibkannya para guru terpaksa harus rela kejar-kejaran dengan siswanya. Bagi siswa upacara Senin pagi yang monoton itu lebih dipandang sebagai rutinisme penyiksaan fisik dan pemasungan ekspresi ketimbang refleksi nasionalisme. Disiplin muncul karena proses pendidikan yang elegan, keteladanan dan adanya rasa tanggung jawab. Sedangkan kebanggaan serta loyalitas itu akan tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan tumbuh kembangnya prestasi.

Dijaman sekarang siswa tidak akan bisa memahami makna nasionalisme, cinta tanah air dan penghormatan terhadap para pahlawan serta pendahulu jika dilakukan dengan ritual ‘penjemuran dibawah terik matahari’ sambil menyanyikan Indonesia Raya, lagu nasional ditambah lagi dengan pelototan angker dan petatah petitih yang menjemukan dari Bapak Ibu guru. Mengapa ? Karena mereka memang adalah generasi terkemudian yang sama sekali tidak bersentuhan dengan hiruk pikuk perang kemerdekaan, revolusi bahkan reformasi.

Mereka, siswa, hanya mungkin ‘merasakan sentuhan nasionalisme’ itu melalui cara yang lain. Melalui pengajaran sejarah yang mengajarkan dan menanamkan makna perjuangan, mengapa itu harus dan dapat terjadi, bukan pelajaran sejarah yang memaksaan hafalan nama, tempat dan tanggal peristiwa. Mereka perlu ditunjukkan bagaimana wujud penindasan secara konkrit, bagaimana rasa persaudaraan kebangsaan dibentuk dan seterusnya. Ini semua ada dalam kehidupan keseharian, misalnya bagaimana kita bisa menanamkan rasa kebangsaan bila setiap hari mereka melihat diskriminasi etnik terjadi di sekolah ?

Maka cara yang paling tepat untuk ‘belajar’ adalah membiarkan mereka aktif dan terjun serta merasakan langsung sensasi dan pengalaman di tengah masyarakat. Kekayaan budaya itu yang akan tertanam dan memupuk rasa nasionalisme, patriotisme, persatuan, persaudaraan dan seterusnya. Semua ini tidak mungkin di dapat dari pengajaran akademik dengan hanya duduk manis di bangku sekolah, melalui kegiatan ekstra kurikuler, wadah organisasi ekspresi seperti pramuka, kepecintaalaman, palang merah, bela diri nasional dan sebagainya.

Pendidikan, Keteladanan dan Pengajaran

Hal penting lainnya menyangkut kualitas dunia pendidikan adalah kesejahteraan para pelaksana. Kurangnya jaminan kesejahteraan menyebabkan pekerja di sektor pendidikan hanya mampu menjadi pengajar saja ketimbang pendidik. Waktu, tenaga dan pikiran mereka akan lebih banyak tercurah untuk urusan tuntutan ekonomis. Untuk menjadi pendidik yang menjadi ujung tombak pelayanan pendidikan seharus mereka harus mampu berkonsentrasi penuh dan melakukan proses reengineering pengetahuan dan penalaran. Suatu proses perubahan paradigma pembelajaran dari periodic learn menuju continous learn.

Karena situasi yang serba terbatas, pengajar hanya mampu melakukan orientasi sebatas prestasi akademik, suatu target yang berbentuk indeks prestasi fisik. Kreatifitas dan inovasi dengan sendirinya terpasung, siswa hanya difokuskan pada penerimaan materi baku dan tidak ada yang peduli dengan perkembangan kepribadiannya. Akibatnya produk pendidikan menengah hanya mampu memahami hal-hal yang baku dan bersifat umum / normatif / tekstual. Mereka tidak dapat memahami substansi dan korelasi serta tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya ke dunia nyata.

Itu baru aspek kognitif, intelektual, (IQ) bagaimana pula dengan pembinaan psikologis dan sosialnya atau yang populer disebut sebagai Emotional Quality (EQ) ? Padahal kedua hal tersebut harus berjalan seimbang bahkan EQ lebih berperan dalam pembentukan pribadi yang utuh. Jika IQ bisa ditingkatkan setiap saat dengan cara belajar berkelanjutan maka sangat berbeda dengan EQ yang perkembangannya dimulai sejak usia dini dan sangat menentukan pada masa pertumbuhan (remaja) dan justru akan berhenti pada saat manusia mencapai usia dewasa. Justru dunia pendidikan kita hanya berorientasi pada IQ sedangkan EQ yang seharusnya menjadi prioritas malah diabaikan. Tidak heran bila generasi muda kita selalu mengalami masalah dalam pembentukan pribadi, selalu mencari jati diri dan kesulitan dalam mengekspresikan dirinya secara bebas.

Di sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada prestasi akademik justru menjadi kontra produktif karena menimbulkan rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan prikologis diberikan oleh sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa memenuhi target akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali potensi non akademik yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap pembentukan karakter sebagai manusia yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor.

Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.

Stempel identitas dapat digambarkan : nilai baik identik dengan anak manis sedangkan nilai buruk diberi stigma ‘berandal’. Tidak heran bila sampai saat ini masih kental terjadi horor ‘penjurusan’, IPS lebih tidak mengharapkan dibandingkan IPA. Para orang tua begitu ketakutan ketika menyadari bahwa anaknya terancam masuk jurusan IPS. Karena mereka terbelenggu paradigma : para berandal sudah seharusnya menghuni jurusan non eksak dan sebaliknya anak manis dan kutu buku harus berada di lingkungan eksakta. Padahal Ilmu Pengetahuan sendiri tidak mengenal ‘kasta’ ! Dan dikedua kubu lahir prestasi brilian yang mengangkat derajad peradaban umat manusia.

Ini terjadi karena sistem penjurusan sendiri sebenarnya melulu hanya melakukan ‘parsing nilai akademik’ dan sedikit sekali mempertimbangkan faktor minat akademik peserta didik sesungguhnya. Asalkan nilainya dibawah standar tertentu maka jurusannya sudah pasti IPS, atau bila kelakuannya bikin dahi para guru mengkerut, langsung saja divonis jurusan IPS.

Demikian pula dengan mekanisme Ebtanas, DANEM dan UMPTN, satu dua hari yang menentukan tiga tahun kerja keras siswa, tanpa pernah diperhitungkan ‘kesialan di waktu ujian’, kegugupan, sakit atau hal lain yang sangat manusiawi dan bisa menimpa siapa saja. Siswa dituntut untuk menjadi Superman, pintar berstrategi menghadapi soal ujian dan mensiasati waktu, sebagaimana yang diajarkan berbagai kursus, tanpa memahami apa substansi pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga tentu saja tidak ada penghargaan terhadap kemampuan siswa sesungguhnya. Dan kesalahan ‘penjurusan’ ini akan berlanjut pada tingkatan berikutnya yang pada akhirnya akan menghancurkan potensi SDM bangsa dimasa depan, karena banyaknya orang ‘kesasar’.

Yang ada hanya upaya berebut posisi, suatu pengajaran moral yang sangat buruk. Orang akan menjadi bersifat pragmatis dan tidak mampu menghargai proses, tidak mengenal makna kerja keras dan perjuangan, orientasinya hanyalah hasil instan, tidak peduli dengan cara bagaimana mereka memperolehnya. Sekarang kita menemukan bahwa manusia Indonesia, untuk mencapai sesuatu hasil atau prestasi cenderung melakukan dengan menghalalkan berbagai cara, serba memilih jalan pintas. Bahkan menyuap, memanipulasi dan intimidasi adalah perilaku yang sangat jamak. Dan masyarakat pun menjadi permisif terhadap semua penyimpangan ini.

Ini berbeda dengan pola seorang pendidik yang tidak hanya berorientasi secara fisik namun juga mental psikologis. Seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid ‘nrimo’ tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat.

Otonomi dunia pendidikan mungkin adalah suatu solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan terutama di tingkat dasar dan menengah. Dengan otonomi, sekolah dapat menolak campur tangan pihak lain. Peningkatan kesejahteraan pekerja kependidikan dapat dikelola secara lebih profesional karena masyarakat dapat langsung berperan aktif. Sekolah pun bebas mandiri menentukan identitas yang diwujudkan dalam kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan lokal. Bahkan seharusnya dunia pendidikan diberi kebebasan penuh untuk bekerjasama dengan wali siswa dan sektor swasta. Dengan otonomi kreativitas dunia pendidikan diharapkan lahir kembali.

Di negara maju, publik dan dunia usaha sangat menyadari betapa pentingnya support bagi dunia pendidikan, sehingga mereka tidak segan melakukan kerjasama untuk mendonasi dan mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan hal tersebut merupakan kewajiban sosial (moral) yang nyata, bukan hanya sekedar normatif, sloganis seperti yang terjadi saat ini, asalkan sekolah dijauhkan dari aktifitas bisnis dan hiburan sementara di sisi marketing mereka justru menjadikan lingkungan sekolah sebagai target pasar.

Yang terjadi sekarang baru sebatas pola kerjasama yang sifatnya melakukan eksploitasi potensi ekonomi siswa atau lebih tepatnya wali siswa. Tidaklah heran apabila setiap tahun ajaran baru identik dengan ‘ajang pemerasan’. Maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah cara berpikir dengan ‘paradigma manfaat / investasi bukan biaya’, baik bagi pengelola sekolah maupun (terutama justru) wali siswa. Berikutnya perlu diperbaiki pola kerjasama dengan swasta, harus ada formula yang tidak melulu menonjolkan keuntungan materiil maupun ‘penodongan terhadap anggaran sekolah’.

Dalam banyak hal, orang tua / wali siswa cenderung memandang sekolah dan berbagai kegiatannya (terutama yang non akademik) sebagai biaya, bukan investasi. Mereka belum dapat menyadari bahwa kualitas pendidikan sangat memerlukan dukungan finansial. Bahwa pendidikan harus dipandang dengan paradigma cost benefit ratio. Bahwa rasio manfaat yang diperoleh dari proses pendidikan itu bersifat intangible (tidak terukur), jelas tidak dapat dihitung dan diperbandingkan dengan nilai uang berapapun jumlahnya.

Karena investasi ilmu itu bersifat ‘will last forever’, berlaku selamanya, abadi. Kita tidak mungkin menghargai kemampuan membaca dan menulis dengan sejumlah uang, namun kita dapat membayangkan bahwa manfaat biaya yang telah dikeluarkan agar anak kita bisa membaca dan menulis jauh lebih besar artinya dibanding nilai nominalnya. Selanjutnya kita dapat membayangkan bahwa berkat kemampuan membaca dan menulis maka anak kita sepanjang hidupnya akan mampu melakukan berbagai hal produktif yang kalau dianggap sebagai pengembalian investasi, tidak bisa dihitung lagi berapa ratus, ribu bahkan juta kali lipat dari nilai nominal biaya yang telah kita keluarkan sebelumnya (selama ia sekolah) untuk menjadikan anak tersebut mampu membaca dan menulis.

Oleh karena itu adalah suatu ironi ketika kita melihat betapa para orang tua / wali senantiasa mempermasalahkan berbagai biaya pendidikan baik akademik, apakah untuk keperluan buku, praktikum maupun ekstra kurikuler yang seringkali nilainya tidak lebih besar dari anggaran belanja ‘rokok’ seorang Bapak setiap bulan. Padahal kita sebagai manusia dewasa sangat memahami bahwa nilai ekonomis rokok bersifat ‘habis pakai’ dan malah cenderung bersifat negatif karena merugikan kesehatan. Tentu sangat tidak adil bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh apabila ‘uang rokok’ tersebut dipergunakan secara semestinya demi kepentingan investasi pendidikan putera puterinya.

Di sisi lain orang tua dan siswa banyak yang menerima begitu saja keharusan membeli kelengkapan sekolah seperti seragam dan atribut yang nilainya jauh lebih besar, karena memandangnya sebagai keharusan dan malah kebanggaan, puas bila melihat anaknya berseragam. Seolah dengan membelikan seragam, orang tua telah berhasil memberikan identitas dan menjadikan anaknya orang pintar yang terhormat. Mereka malu bila anaknya terpaksa harus memakai seragam bekas pakai entah beli di tukang loak atau milik saudara.

Sedangkan untuk buku pelajaran mereka cukup membelikan yang bekas, padahal kita tahu justru buku yang harus senantiasa diperbaharui karena dunia pengetahuan setiap hari selalu berubah, ada hal baru, bahkan sejarah pun berubah. Semua itu harus ditulis daram buku, harus ada penulis yang bersedia membuatnya dan penerbit yang memproduksinya secara massal. Dan itu hanya mungkin terjadi apabila masyarakat terutama dunia pendidikan mau membeli buku setiap saat. Artinya kegemaran dan minat baca itu harus ditumbuhkan dan hal yang sangat utama dalam dunia pendidikan, orang tua dan masyarakat sudah seharusnya mendukung dan memfasilitasi hal tersebut.

Jelas suatu egoisme apabila nilai fisik seperti seragam, tas dan sepatu baru dipandang lebih bermanfaat ketimbang buku berkualitas. Sama halnya dengan mengutamakan penampilan baju baru, belanja dan rekreasi ketimbang silaturahim di hari lebaran. Nilai spiritual telah jauh ditinggalkan dan cukup digantikan dengan simbol fisik, duniawi yang sifatnya kosmetik.

Di sisi lain paradigma ini tidak cukup hanya disampaikan sebagai wacana melainkan harus dipublikasikan secara luas sebagai upaya edukasi kepada publik serta dunia usaha, pendeknya seluruh masyarakat. Karena hanya dengan cara demikian masyarakat dapat memahami bahwa dunia pendidikan (terutama tingkat dasar dan menengah) sangat penting untuk didukung kemandirian dan perkembangannya. Karena disanalah tempat generasi muda membentuk karakter dirinya (character bulding) sebagai manusia Indonesia yang utuh.

Di masa mendatang berkat kemampuannya memposisikan diri secara tepat di tengah masyarakat maka sekolah akan menjadi sumber dan agen IPTEK. Orang akan datang ke sekolah untuk mencari dan mendapatkan segala ilmu pengetahuan yang diperlukannya. Sekolah dengan segala resource yang dimilikinya menjadi kontributor pengetahuan kepada masyarakat. Sekolah menjadi tulang punggung masyarakat yang berbasis pengetahuan.

Masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) inilah wujud paling ideal dari masyarakat madani. Dimana masyarakat sipil berperan dominan dengan tingkat spiritual dan penguasaan pengetahuan yang tinggi serta kepedulian sosial. Masyarakat yang berbasis pengetahuan akan memiliki ketahanan terhadap berbagai gangguan. Mereka mampu untuk bertindak dan bersikap secara elegan dan beradab karena mereka memiliki kemampuan sosial serta pengetahuan luas yang terus berkembang setiap saat.

Pada tingkat lanjut sekolah harus mampu menjadi produsen ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara melakukan kompilasi, yaitu mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan dan selanjutnya dirumuskan menjadi bentuk yang baru baik itu secara teoritis maupun praktis. Yang kedua sekolah mampu memproduksi, mengeksplorasi suatu pengetahuan baru. Untuk itu lembaga di dalam sekolah sendiri harus melakukan reposisi dan reorientasi fungsinya.

Sebagai contoh BP, lembaga yang selama ini menjadi eksekutor peraturan sekolah dan momok siswa, pada masa sekarang harus berubah. BP harus mampu menempatkan diri sebagai mediator dan katalisator antara sekolah dan siswa, BP harus memihak kepada kepentingan siswa dan profesional sebagai lembaga konselor bukan ‘provoost’. BP harus mampu memotivasi dan menggali potensi siswa semaksimal mungkin dan melakukan rehabilitasi bila diperlukan.

Dalam dunia yang penuh dengan kontradiksi nilai dan labilnya kejiwaan remaja maka BP harus berperan sebagai sahabat yang mampu mengarahkan ketimbang sebagai polisi. Hedonisme, permisifisme dan perubahan nilai sosial lain, kasus narkoba, pendidikan seks dan problematika lainnya termasuk nasionalisme (yang saat ini makin luntur dan menjadi penyebab utama perpecahan bangsa) harus secara proaktif disosialisikan kepada siswa. BP dapat berperan sebagai agen ilmu pengetahuan sosial kemasyarakatan bagi siswa.

Lembaga lain seperti guru wali juga harus mampu memposisikan diri sebagai orang tua kedua bagi siswa atau lebih tepatnya sahabat tua. Dan seorang sahabat akan berdiri dalam posisi sejajar bukan lebih tinggi, dia akan berperan sebagai pendengar bukan instruktor. Sebagian besar remaja menghabiskan waktunya di sekolah, interaksi dengan anggota keluarga dan orang tua yang sibuk bekerja menjadi sangat kurang sehingga hambatan komunikasi sangat mungkin terjadi. Untuk itu guru wali harus menjalankan peran mengganti yang mengakomodir permasalahan siswa selama berada di lingkungan sekolah.

Guru wali harus mampu melakukan pendekatan personal dengan memberikan penilaian serta pelaporan perkembangan individual dari aspek non akademis. Rapor misalnya, seharusnya tidak hanya berisi penilaian akademis namun juga hasil pengamatan psikologis individual, laporan prestasi non akademis (contoh : ekstra kurikuler), catatan reward and punishment berkaitan dengan peraturan sekolah bahkan bila perlu medical record dari UKS atau dokter sekolah termasuk resume perkembangan psikologis dari BP.

Sudah tidak jamannya lagi rapor yang hanya berisi penilaian akademik dan hasil pengamatan berbasis kelompok (misalnya rata-rata kelas) semata. Sebab apabila tidak dilaksanakan, bagaimana para orang tua dan wali siswa dapat mengamati perkembangan putra putrinya secara komprehensif ? Bagaimana kita semua dapat menilai dan memahami potensi setiap individu ? Apabila kita tidak dapat mendeteksi potensi dan gangguan dalam diri generasi muda / remaja, bagaimana pula kita dapat menyalurkan, mengembangkan, memfasilitasi, memberi solusi bahkan akhirnya menanggulangi segala permasalahan yang mereka hadapi ? Apabila seperti ini kondisinya mungkinkah kita memberdayakan potensi SDM bangsa ini secara maksimal agar akselerasi kesejahteraan banga bisa segera tercapai. Bagaimana pula dengan kesiapan bangsa ini menghadapi persaingan global dengan modal ‘generasi muda yang cacat’ ?

Apabila sekolah telah mampu menjadi lembaga pendidikan utama maka akan tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Bila iklim ini dapat terbentuk maka tidak perlu lagi ada program wajib belajar yang cenderung bersifat memaksakan dan lebih mengejar target kuantitas ketimbang kualitas. Dengan sendirinya masyarakat menginginkan pendidikan, karena mereka tahu bahwa ada sekolah yang menjadi pusat pendidikan dan sumber Iptek yang dibutuhkan oleh masyarakat di lingkungannya. Di tempat inilah SDM bangsa ini dicetak untuk mengasah potensi sehingga unggul dan percaya diri karena memilki identitas pribadi sebagai individu yang diakui eksistensinya
http://www.pataka.net/2005/05/02/dunia-pendidikan-menengah-nasional-mensikapi-tantangan-jaman-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar