Selasa, 26 Mei 2009

MENINGKATKAN-AKSES-KE-PENDIDIKAN-TINGGI

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut
PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja
dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan
kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial
melalui akses ke perguruan tinggi.

Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk
merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasuk
pendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2005, misalnya Pemerintah menyediakan lebih
dari Rp 100 trilyun untuk subsidi, tidak termasuk pembiayaan pendidikan tinggi sebesar
Rp 6,2 trilyun.

Pada waktu kemampuan keuangan cukup kuat, pemerintah mampu membiayai
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Selama ini pemerintah menyubsidi biaya pendidikan
tinggi sekitar 75 persen. Namun sekarang, keuangan pemerintah tidak seperkasa dulu,
padahal untuk meningkatkan mutu akademik dan memperbesar dan memeratakan akses
perlu dukungan dana yang besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh
Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dan hanya menyediakan
pembiayaan seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan
konsekuensi PT tidak mampu mencapai mutu akademik dan akses semakin terbatas, dan
hanya mampu dijangkau oleh 4 persen kelompok masyarakat kurang mampu? Atau, beri
PT kemandirian lebih besar untuk mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih
rasional sehingga dapat memperbaiki mutu dan memperbesar akses bagi kelompok
masyarakat kurang mampu?

Resep Nicholas Barr ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang sedang mengghadapi kondisi
dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama
yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke
perguruan tinggi. Dalam majalah The Economist edisi 8 September 2005, diungkapkan
hasil survei Shanghai Jiao Tong University tahun 2004, dari 20 top world universities, 17
adalah universitas Amerika Serikat, 2 perguruan tinggi Inggeris dan 1 universitas Jepang.
Artikel tersebut juga mengungkapkan ketimpangan akses antara 2 negara, hanya 16
persen anak-anak keluarga kurang mampu di Inggeris mendapatkan akses ke PTm,
sedangkan di Amerika Serikat lebih dari 45 persen.

Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics
(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.
Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How
best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing
loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white
paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya
untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.

Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua
partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu
kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. Partai
Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan
kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai
Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang
mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para
mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.
Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak
selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.
Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan
menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,
subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk
membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.

Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan
kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke
pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.
Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu
mencapai 43 persen.

Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik
kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung
rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah
dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs
pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk
anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.
Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya
investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke
pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.

Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah
menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji
bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji
ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah
mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi
ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu
yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman
untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.

sumber : http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/MENINGKATKAN-AKSES-KE-PENDIDIKAN-TINGGI-ver-2.pdf

implementasi Psikologi Pendidikan Agama di Sekolah

PENDAHULUANJika kita menilai secara jujur dan realistis, yang disebut lembaga sekolah di tanah air kita ini, tidak lebih adalahlembaga yang memberikan pelajaran-pelajaran formal dalam mengembangkan aspek intelektual yang cendrung teoritis. Artinya, dari sisi sistimatik lembaga sekolah sangat bersifat pengajaran dan nyaris tak menyentuh aspek pendidikan, hal ini bisa dilihat dari standar kenaikan ataupun pelulusan yang hanya mengutamakan nilai intelektual yang diwujudkan dengan NUN (Nilai Ujian Nasional).Pola pendidikan yang timpang ini, jika ditelusuri akan ditemukan titik tolaknya yang bersumber dari falsafah dasar sistem persekolahan kita. Menurut Agus Sunyoto sebagai pemerhati pendidikan, “bahwa falsafah dasar yang dianut oleh sistem persekolahan kita adalah filsafat positivisme yang bersifat sekuler, materialis, rasionalis dan bebas nilai”. Oleh karena itu, maka semua gerak dan perkembangan sekolah, tidak akan jauh keluar dari konteks tersebut.Dengan demikian, dalam bahasa agamisnya, sistem persekolahan yang kita anut ini adalah sistem Jahiliyyah yang berkiblat ke Barat. Dengan falsafah dasar seperti itu, wajar saja jika pengembangan kurikulum di sekolah hanya berisi seperangkat disiplin ilmu, yang semata-mata hanya mengembangkan aspek intelek anak didik dan mengabaikan aspek pembinaan kepribadian anak didik. Maka kita dapatkan gambaran diperkotaan yang cendrung sekolahnya lebih maju dan elit, justru dari tempat itu sering muncul masalah, tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan tindak kriminal lainnya, yang tidak melambangkan identitas insan yyang tinggi pendidikannya. Mungkin penilaian ini apriori, tapi disadari atau tidak, kondisi sekolah yang lebih mapan dalam segala hal tidak menjamin sanggup melahirkan orang yang benar, tapi hanya mampu melahirkan orang yang pintar, dan ini berbahaya. Pendidikan Agama sebagai disiplin ilmu yang bersifat pendidikan, turut pula berada dalam dinamika sistem Jahiliyyah tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan untuk ikut serta terperangkap dalam sistem tersebut.Dengan demikian keberadaan mata pelajaran yang bersifat pendidikan seperti pendidikan agama dalam sekolah hanya bersifat “tambahan” Dengan menilai secara jujur, dan realistis sekitar materi pelajaran sekolah yang kurang memperhatikan aspek pembinaan kepribadian, maka wajar saja jika pada gilirannya lembaga sekolah sering dikeluhkan sebagai sumber lahirnya pengangguran, karena lulusan sekolah (yang tidak memiliki ketrampilan dan pribadi yang tangguh dan mandiri) ternyata tidak siap pakai dalam menghadapi bidang pekerjaan yang menjadi profesinya. Lembaga sekolah sering hanya seperti menara gading, yang banyak menjadi penyebab pengasingan anak didik terhadap budaya yang ada disekitarnya.Sementara berbagai kasus di sekolah seperti tawuran antar pelajar, siswa menyeroyok guru, ugal-ugalan di jalan, penggunaan narkoba, minum-minuman keras, siswa berbuat mesum dan berbagai kasus memalukan yang lain, seringkali menimbulkan pertanyaan sekitar implementasi pendidikan agama di sekolah. Apa yang dilakukan guru agama dalam mendidik siswa-siswanya, apakah guru agama tidak mampu meng-implementasi-kan ajaran agama kepada para siswa ?KEBERADAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Sebenarnya, jika menelaah keberadaan Pendidikan Agama di sekolah, secara jujur dapat dinilai, sepanjang sejarahnya, pada dasarnya sudah diperlakukan sedemikian rupa tidak manusiawinya. Mata pelajaran agama justru telah disudutkan sedemikian rupa seolah-olah hanya tinggal sebuah mata pelajaran tentang agama Islam yang teoritik yang sekedar membahas hal-hal yang berkaitan dengan peribadatan, tidak lebih. Walhasil guru agama hanya menyampaikan pelajaran teoritik tentang ibadah ritual keagamaan dengan waktu yang sangat singkat. Lebih mengenaskan lagi, pendidikan agama diberbagai sekolah hanya diberi dua jam pelajaran.Dengan menyadari keberadaan pendidikan Agama di lembaga sekolah yang tidak lebih hanya di fungsikan sebagai tambahan itu, maka amat memprihatinkan sekali jika ada masyarakat, terutama para pengajar agama berharap terlalu banyak untuk bisa memberikan kontribusi terhadap pembinaan anak didik di sekolah. Sebab ditinjau dari aspek waktu dan materi pelajaran mustahil bisa diperoleh kontribusi yang optimal. Malah sering kali, jika terjadi ketimpangan perilaku anak didik di sekolah yang cenderung dijadikan sasaran kesalahan adalah guru agamanya yang dinilai kurang bisa membina dan membimbing murid-muridnya dengan baik. Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Jujur saja, dibanding mata pelajaran lain, keberadaan mata pelajaran pendidikan agama di sekolah hanya memperoleh waktu yang singkat sekali,. Kondisi ini tentu saja akan menyulitkan guru dalam melaksanakan tugas secara optimaldalam mentransformasikan ilmu pendidikan agama kepada anak didik.Sementara sistem pendidikan yang berjenjang, semakin tidak menguntungkan penanaman ilmu agama karena waktu tatap muka, dalam mentranformasi dari buku teks tidak didayagunakan secara optimal. Contoh sederhana, satu buku teks yang sesogyanya harus dipelajari dalam tempo yang lama dan berulang-ulang, harus diselesaikan dalam waktu singkat, karena harus mengikuti prosedur sistimatik kurikulum yang ada. Seakan-akan guru harus menuntaskan materi pelajaran sesuai target kurikulum tanpa melihat hasil dari penanaman kepribadian yang didapat anak didik. Menyadari keberadaan sistem persekolahan beserta kompleksitasnya disatu pihak dan keberadaan pendidikan agama dipihak lain, maka alternatif yang dapat ditawarkan, terutama dalam era otonomi daerah ini, adalah adanya perubahan sistem persekolahan yang diterapkan, hendaknya diganti dengan sistem persekolahan yang lebih cocok dengan kepribadian bangsa kita. Hal ini sudah mulai dirintis, misalnya dalam proses persekolahan, ada rambu nilai-nilai moral yang dijadikan pijakan dalam menentukan proses pelulusan, walau masih keliharan ragu-ragu, tapi itu merupakan awal dari sebuah proses menuju cita-cita yang diinginkan dalam falsafah negara kita.PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAHKecendrungan yang positif dalam kaitannya dengan pendidikan agama di sekolah, dapat dilihat dari penegasan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, yang mana pendidikan agama merupakan mata pelajaran penting yang harus diberikan disetiap lembaga sekolah. Hal ini dilandasi pemikiran, bahwa kemajuan teknologi dan budaya asing yang datang seringkali tidak selaras dengan kepribadian kita, hal ini tidak dapat dihindari, bahwa arus informasi global turut menjadi pemicu masuknya budaya asing tersebut, yang sedikit banyak telah mengalihkan perhatian anak dari kebiasaan zaman dulu untuk pergi ke surau dan mengaji di waktu magrib.Hal inilah yang ingin diperkecil dampaknya dengan menonjolkan pentingnya peningkatan kehidupan beragama, yang ingin dimulai di sekolah-sekolah. Bahwa tujuan pendidikan agama diajarkan adalah berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah sehingga memperoleh kebahagiaan dunia akherat . Dengan harapan anak didik dapat meningkatkan iman dan taqwa ditengah perubahan masyarakat yang memang dibutuhkan dan tidak dapat dihindari ini, sehingga tercapai keseimbangan antara kehidupan jasmani dan kehidupan rohani.MATERI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAHKeberadaan materi pendidikan agama yang selama ini dikembangkan, terlalu terfokus kepada kurikulum yang telah ditetapkan, hal ini ditambah dengan teks buku yang ada tidak ditelaah secara kritis dan mendalam, sehingga penguasaan anak lebih kepada penguasaan agama sebagai ilmu teoritis, bukan kepada penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama itu sendiri, hal ini harus dirubah, kurikulum seharusnya memberikan ruang dan gerak yang cukup kepada pendidik, untuk mengembangkan dan menelaah materi agama secara mendalam, dan materi-materi yang kurang relevan dalam kehidupan anak, hendaknya tidak perlu lagi dipaksakan untuk diajarkan. Kedepan, materi pelajaran agama harus menekankan kepada perbaikan akhlak dan penghayatan pengamalan nilai-nilai agama secara utuh, dengan mengurangi materi yang sebenarnya tidak perlu lagi diajarkan.METODE PENGAJARAN PENDIDIKAN AGAMAMengajar pada hakekatnya merupakan upaya guru dalam menciptakan situasi belajar. Metode yang digunakan oleh guru diharapkan mampu menumbuhkan berbagai kegiatan belajar, dengan perkataan lain, proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara guru yang menciptakan suasana belajar dengan pelajar yang memberikan respon terhadap usaha guru tersebut. Suatu metode akan dikatakan baik, apabila dengan metode tersebut dapat menumbuhkan suasana belajar yang baik. sehingga dalam menggunakan suatu metode mengajar seorang guru harus memperhatikan beberapa aspek, menurut Ahmad Tafsir, aspek yang harus diperhatikan adalah : kondisi anak didik, tujuan yang hendak dicapai, situasi lingkungan, alat-alat yang tersedia, kondisi guru, materi yang disampaikan.Dalam menentukan suatu metode yang akan digunakan sebenarnya tidak sulit, masalahnya adalah bagaimana dengan metode itu, proses pembelajaran dapat efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan, oleh karenanya sebelum menentukan suatu metode yang akan digunakan, seorang pendidik perlu menyusun langkah-langkah dalam pembelajarannya, sehingga akan serasi antara materi, tujuan dengan metode yang digunakannya. Ada berbagai macam metode dalam pembelajaran, menurut Husni Rahim dkk, diantaranya : Ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, tugas belajar dan resitasi, kerja kelompok, sosiodrama, problem solving, sistem regu, simulasi, tutorial, studi kasus, curah gagasan, studi bebas, kelompok tanpa pemimpin, dan latihan.Dari sekian banyak metode ini, yang perlu disadari bahwa tiap-tiap metode masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan, oleh karena guru harus berusaha memadukan berbagai metode yang ada, dengan mempertimbangkan aspek-aspek dalam menentukan suatu metode, maka guru jangan hanya terfokus pada satu metode dalam pembelajarannya, apalagi menyangkut pelajaran agama, diperlukan metode secara terpadu dan bisa saja beberapa metode dilakukan sekaligus. Dalam konteks pendidikan agama Islam, menurut al Ghazali metode pengajaran harus berprinsip pada child centered yaitu mementingkan anak didik daripada pendidik itu sendiri.Implimentasi dari prinsip metodologi tersebut adalah penggunaan metode keteladanan, bimbingan dan konselingcerita motivasi dan reinforcement.namun demikian karena pendidikan Islam mencakup pembinaan ketrampilan , afektif dan kognitif, maka metode pengajaran harus dapat menyentuh perasaan, mendidik jiwadan membangkitkan semangat. Menurut al Nahwawi, metode yang sesuai untuk pendidikan agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam al qur’an dan Hadits, sebagai berikut :Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi Yaitu metode dialog silih berganti antara dua pihak atau lebih tentang suatu tema yang mengarah pada tujuan pendidikan yang ingin dicapainya.Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi Yaitu metode dengan menggunakan kisah yang menarik dan mengambil teladan dari kisah tersebut, karenanya dalam menampilkan suatu kisah harus memilih tokoh yang menarik dan dapat dijadikan panutan.Metode Amtsal Yaitu metode dengan ceramah atau membaca teks, yang hampir sama dengan metode kisah, metode ini dapat mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep yang abstrak, merangsang kesan terhadap suatu makna yang tersirat, metode ini pula dapat memberikan motivasi untuk berbuat baik dan menjahui kejahatanMetode Teladan Yaitu metode yang menggunakan keteladanan dalam menanamkan penghayatan dan pengamalan materi pendidikan agamaMetode Pembiasan Yaitu metode pengulangan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga menjadi suatu kebiasaan, seperti mengucapkan salamMetode Ibrah dan Mauziah Yaitu metode dengan menelaah ibrah dari kisah, bukan hanya historisnya tapi implimentasi dari kisah itu sendiri, mauziah yaitu metode dengan nasehat yang lembut dan menyentuhMetode Targhib dan Tahrib Yaitu Metode yang didasarkan kepada ganjaran dan hukuman Upaya guru dalamEVALUASI PENDIDIKAN AGAMAEavaluasi merupakan suatu instrumen yang harus ada dalam proses pengajaran. Karenanya keberhasilan seorang siswa akan dapat diketahui setelah dilakukan proses evaluasi. Dalam melakukan evaluasi diperlukan standar penilaian yang komprehensif dari seluruh aspek kehidupan mental psikologis dan spiritual religius. Ada empat sasaran dari proses evaluasi dalam pendidikan agama Islam, diantaranya:Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan AllahSikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan masyarakatSikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan AlamSikap dan pengamalan diri terhadap arti hubungannya sebagai hamba Allah, selaku anggota masyarakat dan selaku kholifah di bumi.Sasaran evaluasi tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan untuk direspon yang hasilnya dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan evaluasi pendidikan agama adalah sikap mental, dan pendangan dasar sebagai manifestasi dari keimanan dan keislaman serta keilmuannya.Nah, persoalannya yang mendasar adalah kemampuan guru dalam mengevaluasi, menyangkut penggunaan metode evaluasi, pengambilan alat evaluasi yang tepat dan teknik evaluasi yang valid, karenanya dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dalam mengevaluasi peserta didiknya yang tidak kalah terpentingnya, bahwa prinsip dari sistem evaluasi yang dilakukan, menurut Husni Rahin, harus dilakukan secara terus menerus, menyeluruh dan ikhlas.Agar persoalan-persoalan yang kami kemukakan diawal tidak terjadi, dan dapat diminimalkan, kecemasan atas kegagalan pendidikan agama di sekolah yang dituduhkan sebagian kalangan selama ini, tidak terbukti. Maka tugas pengajar pendidikan agama menjadi sangat penting dalam menjaga dan mengawal prilaku anak, walaupun peran dan wewenanya terbatas, dapat sungguh bermakna dalam membina dan membimbing generasi penerus bangsa dari kegersangan rohaninya.KESIMPULANKeberadaan pendidikan agama di lembaga sekolah, walaupun oleh sebagaian orang masing disangsikan peran dan fungsinya, tetap mempunyai andil yang besar dalam membina dan meningkatkan kepribadian anak. Kasus yang terjadi diberbagai tempat, dapatlah dijadikan pelajaran berharga bagi para pendidik, untuk dicarikan solusinya. Karenanya pendidikan agama jangan hanya menjadi mata pelajaran teoritis saja, tapi lebih kepada mengamalan, penghayatan, dan peningkatan kepribadian anak didik secara menyeluruh.Karenanya dibutuhkan intrumen evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh, tidak hanya mengukur aspek kognitif semata, tetapi aspek yang lain perlu juga di evaluasi, sehingga anggapan pendidikan agama hanya sebagai tambalan di sekolah secara perlahan akan hilang dengan sendirinya, dan keberadaan pendidikan agama di sekolah benar-benar menjadi sesuatu yang urgen bagi anak didik dalam menghadapi berbagai persoalan di masa mendatang.http://paijo-islamic.blogspot.com/2008/10/implementasi-psikologi-pendidikan-agama.html

Ketua MA: Lembaga Pendidikan Khusus Pemerintahan Tak Diperlukan

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan, Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sudah cukup sebagai penyedia tenaga kerja yang duduk di pemerintahan.Menurut Bagir, ketika ditemui di Gedung MA, Jakarta, Jumat, sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi lembaga pendidikan tinggi yang khusus menyediakan tenaga kerja administrasi untuk pemerintahan.Namun, Bagir mengatakan, sikapnya itu bukan untuk membicarakan apakah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) perlu dibubarkan atau tidak."Kita bicara kontekstual saja, bukan bubarkan atau tidak bubarkan," ujarnya.IPDN, lanjut dia, adalah lembaga tinggi akademi yang ditujukan untuk menghasilkan orang-orang yang akan mengisi jabatan administrasi pemerintahan.Sebenarnya, kata Bagir, sudah ada dua lembaga pendidikan tinggi yang merupakan penyedia tenaga kerja pemerintahan, yaitu Fakultas Hukum dan FISIP."Kalau ini sudah dirasa cukup, kita tidak perlu lagi lembaga khusus. Ambil saja dari situ," ujarnya.Fakultas hukum dan FISIP, menurut Bagir, sudah cukup memadai sebagai penyedia tenaga kerja pemerintahan sesuai dengan fungsi pemerintahan tersebut.Fakultas hukum, lanjut dia, menyediakan tenaga kerja untuk penegakan dan pelayanan hukum, sedangkan FISIP untuk tenaga penyelenggara manajemen dan administrasi pemerintahan.Antara News

Pendidikan Bagi Anak Di lokalisasi Prostitusi Pendidikan menjadi alat kendali di Lokalisasi



Pendidikan Bagi Anak Di lokalisasi Prostitusi Pendidikan menjadi alat kendali di LokalisasiSalah satu program teranyar Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) adalah membangun Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sekitar lokalisasi prostitusi Kelurahan Putat Jaya, Surabaya.Di kawasan ini orang biasa mengenal Gang Doli dan Jalan Jarak. Pembangunan PLK di sana selain meningkatkan mutu pendidikan bagi anak didik di sekitar lokalisasi, yang terpenting melalui pendidikan ini diharapkan dapat memajukan pola pikirnya penduduk setempat bagi kelangsungan pendidikan anak-anaknya dilokasi tersebut.”Jadi itu yang diharapkan dengan pendidikan di sana dapat menjadi alat kendali bahwa bisnis lokalisasi tidak akan berkembang ke generasi berikutnya,” tambahnya.Bisnis lokalisasi yang notabena adalah bisnis tidak halal ini sulit diberantas namun hanya dapat dikendalikan agar gaungnya tidak sampai meluas. Informasi yang dihimpun SPIRIT karena warga setempat merasa terbantu perekonomiannya dengan adanya lokalisasi tersebut. Misalnya penduduk setempat adanya yang menjadi tukang cuci, tukang parkir, keamanan, bergadang kelontong dan sebagainya. Karena memang pekerja seks komersial ini bukan dari penduduk setempat melainkan 100 persen adalah dari pendatang di sekitar Jawa Timur.Anak-anak usia sekolah disekitar lokalisasi --khususnya di RW III, VI, dan XI-- banyak yang putus sekolah. Hal tersebut disebabkan kurangnya dorongan untuk menempuh pendidikan dari orang tua. Mainset warga yang terbentuk adalah dengan adanya lokalisasi, mereka dapat bekerja dengan berdagang dan dapat menghidupi keluarga.Ketika pendidikan yang rendah saja dapat menghasilkan uang, maka pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang sekunder. Mainset seperti inilah yang menghambat pendidikan bagi anak-anak sekitar daerah lokalisasi. Program yang dirancang bagi PLK untuk gang doli ini adalah baca, tulis, dan hitung (Calistung) dan program registrasi kelahiran anak. ”Hal ini untuk kelegalan surat-surat seperti akte lahir,” ucap Dewi Mende selaku ketua PLK.Peserta program calistung tersebut dipilih dari anak-anak yang putus sekolah dan bermasalah seperti slow lerner atau lambat dalam belajar. Masalah slow lerner tersebut yang menjadi dorongan orang tua untuk memberhentikan sekolah anaknya. ”Jadi bukan karena tidak mampu saja tapi karena orang tua malu anaknya tidak pernah naik kelas,” ungkap Dewi. Selain anak putus sekolah, beberapa diantaranya terdapat anak pendatang yang cacat.Program registarasi kelahiran anakyang juga diterapkan berguna bagi wanita tuna susila yang melahirkan anak tanpa suami. Sehingga anak-anak yang lahir diserahkan begitu saja atau diadopsi dibwah tangan oleh orang lain. ”Karena diadosi bawah tangan jadi status hukum anak itu tidak jelas,” seru Dewi. Hal ini banyak dialami oleh wanita tuna susila yang baru dan belum tahu cara penggunaan kontrasepsi sehingga mengakibatkan kehamilan.Anak-anak disekitar lokalisasi tersebut belum teridentifikasi seluruhnya. ”Tapi yang jelas tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah,” papar Dewi. Penyebabnya dapat diasumsikan menjadi dua bagian yaitu karena mereka dapat hidup dengan kehidupan malam dilingkungan tersebut.Dapat dikatakan karena latar belakang yang kurang memadai sehingga pemikirannya sederhana, yaitu pengaruh lingkungan yang tidak mementingkan pendidikan menjadi hal yang prioritas. ”Ada kasus, orang tuanya kurang kuat untuk memberi dorongan sang anak dalam menuntut ilmu jadi anaknya malas belajar dan tidak naik kelas kemudian sekolahnya diberentikan oleh orang tuanya,” ungkap Dewi.Diharapkan para siswa PLK mendapat dua ijasah yang dapat ia gunakan, yaitu ijasah akademis dan kompetensi. Hingga tahap sosialisasi ini, belum ditentukan keterampilan apa yang akan diajarkan karena menurut Dewi keterampilan tersebut akan disesuaikan dengan permintaan siswa PLK. Sedangkan untuk tempat pendidikan juga belum ditentukan. ”Kalau saja ada yang bersedia tempatnya dipakai untuk belajar tapi nantinya dia tidak bisa menjalankan usahanya,” tutur Dewi.Kebanyakan tempat mucikasi di gang doli ini terselubung dengan bisnis restaurant dan hiburan. ”Izinnya bisnis tempat hiburan tapi didalamnya ada kamar, dengan izin itu mereka bisa jalan dibawah departemen pariwisata,” jelas Dewi. Hal ini pernah Dewi tanyakan kepada pihak kepolisian namun karena surat izin yang dimiliki oleh pebisnis tersebut adalah legal jadi pihak kepolisian tidak dapat berkutik untuk menutup tempat mucikari tersebut.Diharapkan dengan dibukanya PLK dilingkungan lokalisasi, sehingga anak-anak dapat bersekolah kembali. ”Pernah saya mendapat satu wejangan dari ustadz, pekerjaan paling tua adalah prostitusi jadi sampai seumur dunia tidak akan hilang. Yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan. Kendalinya dari tolak ukur pendidikan.http://www.ditplb.or.id

pendidikan layanan khusus kekurangan guru



Sabtu, 11 April 2009 03:13 WIB Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.Tumbuh dari masyarakatPendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)

Jumat, 22 Mei 2009

Jurnal Bahasa Inggris


Mengantisipasi Jebakan Globalss
Peran Pemimpin Pendidikan
Akhir Sejarah, Kematian Ideologi dan Menglobalkan Segala Sesuatu
Francis Fukuyama (1992), theorist sosial Amerika menyatakan akhir sejarah, kematian ideologi dan datangnya peradaban global. Globalisasi menjadi topik pembicaraan di mana-mana. Penyatuan menjadi tema utama, datang bersamaan dengan ekonomi, industri, komunikasi, media, hiburan, budaya, dan orang-orang menjadi universal, Utopia post historis (tidak melihat sejarah). Realisasi dari teori ini menawarkan Pencerahan dari universalitas, peradaban yang bersatu.
Datangnya masyarakat global juga akan menjadi masyarakat ilmu pengetahuan, peran pemimpin pendidikan didesak untuk menjadi pusat dan bertujuan: penentuan keahlian dan sikap yang dibutuhkan oleh orang muda dan pembelajar berkelanjutan; susunan kurikulum global yang tepat; pengembangan teknologi yang sesuai dengan pedagogi; spesifikasi standar universal yang pelaksanaannya dapat dievaluasi; sistem managemen agar kesuksesan dapat dicapai.
Sebelum itu, ada baiknya berhenti sebentar dan bertanya apakah Fukuyama dapat salah? Apakah akhir sejarah hanyalah tahap dari sejarah-akhir dari proyek Pencerahan dari universalitas yang ditawarkan kepada masyarakat? Apakah kematian ideologi hanya pragmatisme liberal AS dan proyek sosial demokrasi Eropa? Apakah datangnya peradaban global hanya fantasi Barat yang berdasar pada penilaian yang berlebihan pada kesusksesan misionaris di antara penduduk asli?
Mungkin demikian. Dan jika begitu, apa kemudian peran pemimpin pendidikan? Apa peran sejarah yang dapat menginformasikan pemahaman mereka? Ideologi apa yang dapat membenarkan aksi mereka? Visi apa dari peradaban yang dapat menguatkan pekerjaan mereka? Apa yang ditawarkan oleh pengetahuan yang dapat mendukung kurikulum mereka? Motivasi apa yang dapat membentuk pedagogi mereka? Nilai-nilai apa yang dapat mendukung evaluasi dari pelaksanaan mereka?
Hal-hal tersebut adalah persoalan besar yang kita semua perjuangkan. Fakta bahwa perjuangan tersebut begitu sulit dan terus-menerus dalam pengalaman sehari-hari mengatakan kepada kita bahwa Fukuyama telah salah.
Menata Masa Kini, Melepaskan Jebakan Global
Pada tahun 1996 Martin dan Schumann, dua jurnalis investigasi yang bekerja untuk Der Spiegel, diterbitkan menjadi Die Globalisierungsfalle: Der Angriff auf Demokratie und Wohlstand. Buku tersebut menjadi best-seller di Jerman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun berikutnya menjadi The Global Trap: Globalisation and the Assault on Democracy and Prosperity (Jebakan Global: Globalisasi dan Serangan Terhadap Demokrasi dan Kemakmuran) dan menjadi best-seller internasional. Menempatkan dinamika kekuatan global dengan tepat dalam perumusan kembali (reformulasi) kapitalisme global yang sekarang ini diadopsi dari AS. Martin dan Schumann mengatakan bahwa kekuatan ini dapat dikatakan tidak hanya merusak kedaulatan negara-negara di dunia tapi juga mengancam keutuhan negara di mana kekuatan ini berasal.
....’kapitalisme-turbo’, yang dalam skala dunia pada saat ini terlihat tidak dapat dihentikan, menghancurkan dasarnya sendiri karena hal itu merusak stabilitas demokrasi dan kemampuan negara untuk berfungsi. Perubahan untuk mengikuti jaman dan redistribusi kekuasaan dan kemakmuran mengikis entitas sosial lama dengan lebih cepat daripada aturan baru yang sedang dikembangkan. Negara-negara yang sudah lama menikmati kemakmuran sekarang merusak substansi sosial kohesi (kepaduan) mereka lebih cepat daripada mereka merusak lingkungan.
Proses perusakan sosial ini paling jelas pada negara berkembang di mana, seperti Michael Chossudovsky katakan, kebijakan yang dijalankan oleh turbo-kapitalisme mengakibatkan kemiskinan global.
Pada negara berkembang, beban utang luar negri telah mencapai dua triliun dolar: keseluruhan negara menjadi tidak stabil sebagai konsekuensi dari jatuhnya mata uang dunia, sering mengakibatkan pecahnya perselisihan sosial, konflik etnis dan perang sipil... Sejak krisis utang terjadi di awal tahun 1980-an, pencarian keuntungan maksimal diatur oleh kebijakan makro-ekonomi, yang mengarah pada pembongkaran institusi negara, meruntuhkan batas ekonomi dan memiskinkan jutaan orang.
Kebijakan ini menghasilkan 20:80 di dunia global di mana 20 persen negara yang paling makmur mengontrol 80 persen negara makmur dan 80 persen negara yang paling miskin puas dengan 20 persen kemakmuran. Seperti yang Martin dan Schumann amati,
Kelima negara yang paling makmur menentukan 84,7 persen gabungan GNP dunia; 84,2 persen rekening warga negaranya untuk perdagangan dunia dan memiliki 85,5 persen tabungan di rekening domestik. Sejak tahun 1960 jurang antara lima negara terkaya dan termiskin telah lebih dari dua kali lipat...
Pengaruh dalam ekologi juga sama, walaupun terdapat usaha nyata untuk mengontrol bencana ekologi.
Pola global dari penggunaan sumber daya tetap sama sejak konferensi spektakuler UN mengenai lingkungan dan pembangunan yang diadakan di Rio de Janeiro tahun 1992. 20 persen negara paling kaya menghabiskan 85 persen kayu dunia, 75 persen logam yang diproses dan 70 persen energi.
Seperti yang Martin dan Schumann juga amati, reorganisasi aktivitas ekonomi dalam masyarakat dunia pertama bergerak ke arah peniruan dari pola ini dalam reorganisasi internal aktivitas ekonomi. Di AS dan sedikit meluas di Eropa, pola distribusi ketenagakerjaan, konsumsi dan kesejahteraan mendekati masyarakat 20:80.
Hasilnya, seperti yang Bauman katakan, adalah proses globalisasi pada saat ini adalah proses pemisahan dan pengeluaran dari integrasi dan kesatuan. Kesalahan distribusi dari kesejahteraan dan aktivitas ekonomi membuat tidak stabil, secara politik dan sosial, dalam dan di antara negara-negara. Globalisasi pasar bebas muncul bukan untuk menghasilkan universalitas, masyarakat adil seperti yang dijanjikan, tapi lebih pada kondisi polarisasi (pertentangan) dan maldistribusi, karena hak istimewa dan ekslusifitas yang membuat politik, sosial, ekologi dan ekonomi menjadi tidak stabil dan tidak berkelanjutan.
Globalisasi dan Ketidakpuasannya
Globalisasi bukanlah proses yang baru. Banyak komentator menyatakan, perpindahan ide, artefak dan manusia adalah bagian yang konstan dari sejarah manusia. Apa yang baru muncul adalah kecepatan dari perpindahan-perpindahan tesebut yang disempurnakan pada saat ini dan relatif lebih lemah karena halangan-halangan dari dari gerakan yang sebelumnya sudah disusun oleh negara dengan maksud untuk mengatur integritas budaya, politik dan sosial mereka.
Globalisasi juga bukanlah proses yang evolusioner, terintegrasi dan singular. Faktanya, proses globalisasi terjadi dalam dimensi yang berbeda-beda, pada nilai yang berbeda dan dengan efek yang berbeda. Beberapa dari proses ini saling berhubungan. Beberapa independen dan tak diharapkan, yang lain bertentangan konsekuensi. Permasalahan menjadi kompleks jika kita mengalamatkan persoalan pada bagaimana pemimpin pendidikan merespon berbagai globalisasi ini, kita perlu berpikir melalui beberapa perbedaan ini dan menjelajahi kemungkinan untuk membuat perubahan.
Ketika berkembang tulisan-tulisan mengenai globalisasi yang dapat mengarah pada kekacauan, muncul persetujuan umum mengenai beberapa dimensi kunci. Ketidakpuasan berpusat pada empat persoalan utama: globalisasi teknologi, keuangan, produksi dan budaya.
Teknologi
Ada sedikit keraguan bahwa inovasi teknologi memfasilitasi banyak proses globalisasi. Teknologi baru dalam berkomunikasi menyebabkan akses langsung pada jumlah yang luar biasa dari informasi dan kecepatan transfer informasi di antara mereka yang memiliki akses pada teknologi. Demikian pula, inovasi teknologi pada proses produksi menyebabkan aneka ragam hasil produksi dan penurunan biaya yang signifikan. Lagi-lagi inovasi pada teknologi transportasi menyebabkan kecepatan perpindahan komponen (bahan dasar) dan produk dan menyatukan mereka tepat pada waktunya dalam proses produksi.
Ada juga, karena semua inovasi ini, terdapat hal-hal yang tidak bisa diantisipasi dan tidak diinginkan. Mekanisme komunikasi yang dikembangkan oleh teknologi baru ini, di samping usaha terbaik bagi badan hukum dan pemerintah untuk mengontrol mereka (teknologi), sebenarnya anarki. Mereka (teknologi) dapat digunakan untuk kampanye terpusat dan meluas untuk melawan kebijakan perusahaan dan pemerintah. Meraka dapat menjadi tidak aman dikarenakan virus atau ditembus oleh hackers yang mencari akses rahasia perusahaan dan pemerintah. Mereka dapat digunakan untuk menyampaikan keterangan yang salah. Mereka dapat digunakan untuk koordinasi kriminal dan aktivitas yang tidak menyenangkan bagi masyarakat-contohnya distribusi obat, pornografi, pedofilia. Mereka dapat digunakan untuk memfasilitasi penyebaran informasi pribadi yang rahasia menjadi sistem komersil dan pengamatan pemerintah. Mereka dapat digunakan untuk pembajakan hak cipta dan membuang kepemilikan ide intelektual.
Keuangan
Tanpa ragu, pengguna utama dan mungkin orang yang paling mengambil keuntungan dari teknologi baru dalam berkomunikasi adalah pasar keuangan. Menurut Bank of International Settlements, transaksi dalam pertukaran asing dan saham sekarang mendekati dua triliun dolar sehari. Ini kira-kira sama dengan pengeluaran tahunan ekonomi Jerman atau empat kali nilai total produksi dunia dari minyak mentah. Tidak negara maupun bank sentral, secara individual maupun kolektif, dapat secara signifikan mempengaruhi aliran sebesar ini.
Dua efek yang menyebabkan terjadinya aliran ini merupakan hal yang penting. Pertama, aliran sebesar ini dikarenakan keuntungan (dan kerugian) bertambah dari selisih yang sangat kecil dari mata uang. Jadi motivasi dari pedagang kurs asing adalah memanfaatkan selisih ini daripada mengambil posisi jangka panjang yang berhubungan pada nilai real dari aktivitas produksi di negara bagian tertentu. Hasilnya adalah sesuatu yang mirip dengan cassino effect, yang mendestabilisasi kurs dengan aliran modal yang tak dapat diprediksi.
Kedua, saham dan terutama alat-alatnya seperti bursa berjangka dan perdagangan derivatives, menyebabkan pemisahan lebih jauh antara aset surat saham dan kapasitas produksi dari firma dan negara tertentu. Efeknya terus-menerus yaitu fluktuasi ekstrim dari modal dan memunculkan spekulasi yang dapat tiba-tiba membuat kolaps dengan konsekuensi yang mengerikan untuk firma, industri, negara dan institusi keuangan itu sendiri.
Kombinasi dari aktivitas keuangan ini akan mengganggu kestabilan ekonomi dunia. Martin dan Schumann mengutip kata-kata bankir New York Felix Rohatyn
...potensi tersembunyi yang mematikan dalam kombinasi alat-alat keuangan baru dan teknik perdagangan mutakhir dapat memicu rantai reaksi yang merusak. Pasar keuangan dunia pada saat ini menghadapi bahaya yang lebih besar terhadap stabilitas daripada senjata atom.
Satu efek lebih jauh dari perputaran modal keuangan adalah munculnya tax havens. Offshore havens itu harus menanam modal mereka melampaui modal yang bisa dicapai pemerintah dan untuk menghindari pajak dan pemeriksaan. Menurut statistik IMF, total pada kelebihan dua triliun dolar diatur atas nama berbagai offshore negara kecil, melebihi pencapaian negara dimana uang itu dibuat.
Pengabaian kontrol pada modal menyebabkan dinamika yang secara sistematis menghilangkan kedaulatan negara, yang selama ini mengakibatkan anarki. Negara kehilangan hak untuk memungut pajak. Pemerintah menyerah pada pemerasan (oleh kriminal) dan polisi kehilangan kuasanya untuk mengatasi organisasi kriminal karena mereka tidak punya modal.

Produksi
Teknologi dan aliran keuangan adalah komponen yang penting sekali dalam proses produksi. Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa aliran ini akan selalu melalui proses kompetisi, ke arah peningkatan efisiensi produksi yang kemudian menghasilkan keuntungan. Asumsi-asumsi ini ditemukan pada proyek neo-liberal dari pasar laissez-faire pada skala dunia. Prakteknya terhubung pada dua proyek: pengurangan biaya input (teknologi, bahan-bahan dan terutama tenaga kerja) dan reorganisasi konsumsi (pasar).
Globalisasi informasi dan teknologi transportasi menyebabkan adanya proses kompetisi untuk menurunkan biaya bahan-bahan dan tenaga kerja melalui perpindahan produksi ke negara-negara dengan standar lingkungan dan biaya tenaga kerja terendah, hingga merusak standar lingkungan dan perlindungan tenaga kerja. Efeknya jelas, tidak hanya di negara berkembang, di mana kompetisi pada modal dan produksi sangat kuat, tapi juga antara negara industri dan negara berkembang. Hasil dari kompetisi ini adalah untuk meningkatkan efisiensi.
Negara yang paling makmur dan paling produktif dalam dunia industri juga berubah menjadi negara dengan upah terendah... tahun 1995 empat per lima dari semua pegawai dan pekerja laki-laki di AS berpenghasilan 11 persen lebih rendah daripada yang mereka dapatkan pada tahun 1973.
Lebih jauh, pada sisi konsumsi, globalisasi menyebabkan reorganisasi pasar. Privatisasi fungsi negara dan perusahaan, penggabungan perusahaan ukuran kecil dan menengah, kolektivisasi pertanian di bawah kontrol badan hukum/korporasi, kontrol pasar lokal melalui monopoli, semua menciptakan pasar di mana tidak ada sebelumnya, atau reorganisasi pasar dengan cara mengsubordinasikan mereka menjadi perusahaan global.
Hal ini mungkin dapat meningkatkan efisiensi ekonomi global dengan baik. Tapi juga menyebabkan efek yang berlawanan (paradox) dari kekuatan kontrak pembelian yang mengarahkan pada over produksi. Keynes menyatakan solusi yang mungkin dalam paradox ini yaitu dengan ekonomi tertutup-dorongan permintaan dari negara. Tetapi, ekonomi global bukanlah sistem tertutup dan dalam negara global tidak ada yang dapat menjalankan tanggung jawab tersebut. Hasilnya, seperti yang Chossudovsky ingatkan kepada kita
Kemiskinan adalah sisi lain yang ditawarkan dari keadaan ini. Kemunculan pasar-pasar yang dibuka bersamaan pemindahan sistem produksi yang sudah ada, perusahaan ukuran kecil dan menengah menjadi bangkrut atau diharuskan memproduksi untuk distributor global, perusahaan negara diprivatisasi atau ditutup, produsen pertanian independen menjadi miskin.... Perluasan pasar untuk perusahaan global membutuhkan pemecahan menjadi kepingan dan merusak ekonomi domestik. Hambatan perpindahan uang dan barang dihilangkan, kredit diregulasi (diatur kembali), tanah dan kepemilikan negara diambil alih oleh modal asing.
Budaya
Hasil dari penerapan teknologi, keuangan, dan produksi dalam konteks pasar bebas global jelas tidak universal, demokratis seperti yang digambarkan oleh pendiri Pencerahan, tidak juga De Tocqueville yang melihat kemungkinan dari masyarakat seperti ini yang lahir di AS. Ketika pendukung dari pasar bebas mendorong kita untuk percaya bahwa pasar bebas global akan menghasilkan (pada akhirnya) kemenangan dari ‘kapitalisme demokrasi’, fakta yang terjadi tidak mendukung hasil akhirnya.
Secara empiris dan historis akan muncul budaya ekonomi laissez-faire yang faktanya bertentangan dengan praktek dari negara demokrasi.
...’kapitalisme demokrasi’-penyatuan kosong dari setiap neokonservatif-yang menandakan (atau menyembunyikan) hubungan permasalahan yang dalam. Hal normal yang terjadi bersamaan dengan pasar bebas adalah tidak stabilnya pemerintahan demokrasi. Politik yang mudah berubah karena ketidakstabilan ekonomi... demokrasi dan pasar bebas adalah pesaing dan bukan partner.
Secara historis, berkembang suatu pendekatan ekonomi laissez-faire yang telah ada di Inggris dari tahun 1840 sampai 1870. Itu adalah eksperimen jangka pendek yang bertepatan dengan periode ledakan ekonomi, ledakan yang biaya sosialnya secara politik tidak bisa disokong. Hasilnya bukanlah pembebasan dari negara pada ekonomi laissez-faire, tapi lebih kepada perluasan dari monopoli yang demokratis dan reformasi-reformasi (termasuk campur tangan dalam Education Act tahun 1870) yang membatasi pasar bebas demi kohesi sosial.
Reformasi-reformasi ini tidak menggambarkan pelaksanaan dari bentuk komprehensif apapun. Tapi di akhir abad mereka telah mengakhiri ringkasan periode laissez-faire ekonomi di Inggris. Dengan kemunculannya pada PD I dasar dari negara kesejahteraan (welfare state) terletak di Inggris.
Budaya Inggris Victoria, satu yang perhatian pada stabilitas sosial, perluasan monopoli, perlindungan pada keluarga tradisional, pemeliharaan budaya hormat, tata tertib dan tradisi, hal-hal seperti ini mendesak dan membatasi pelaksanaan pasar bebas.
Kemunculan kembali laissez-faire sebagai dasar dari pasar bebas global adalah fenomena di abad 20. Diprediksi melalui perubahan budaya yang melihat proyek sosial demokrasi dari negara kesejahteraan diliputi oleh budaya firma yang diartikulasikan melalui konstruksi pasar bebas global. Ini pada dasarnya adalah proyek Amerika (walaupun serupa dengan Thatcher di Inggris, Lange di New Zealand, dan Howard di Australia): satu yang dibutuhkan transformasi budaya Amerika menjadi masyarakat di mana demokrasi, inklusi dan perbaikan kemiskinan dan penderitaan bukan lagi masalah dari pembagian tanggung jawab sosial. Meskipun fakta bahwa ini merupakan dasar permasalahan kesejahteraan pasca-perang melalui mekanisme New Deal. Lebih jauh, proyek ini tidak lagi tebatas pada penciptaan ekonomi laissez-faire di AS, tapi terlihat lebih pada perluasan basis global. Ini adalah budaya, sama seperti proyek ekonomi.
Inti dari proyek ini adalah perubahan budaya yang signifikan: pengacuhan negara sebagai kendaraan untuk kohesi sosial dan perlindungan individu, pembentukan deregulasi pasar kerja dan resiko privatisasi dan individualisasi. Dalam mekanisme ini disertai pembentukan laissez-faire di Inggris pra-Victoria.
Tujuan utama dari reformasi Poor Law adalah serah-terima tangung jawab untuk perlindungan terhadap ketidakamanan dan kemalangan dari komunitas kepada individu dan untuk mendorong masyarakat agar menerima pekerjaan pada tingkat gaji berapapun yang ditawarkan oleh pasar. Prinsip yang sama telah diinformasikan pada banyak reformasi kesejahteraan yang didasari pengaturan kembali pasar bebas di akhir abad 20.... Reformasi institusi kesejahteraan memaksa orang miskin untuk mengambil pekerjaan apapun yang tersedia, mengikis aturan upah dan kontrol pendapatan lainnya, dan membuka ekonomi nasional untuk diatur oleh pasar beabas global, menjadi pusat dan dasar kebijakan neo-liberal selama tahun 1980 dan 1990 di seluruh dunia.
Terjadi, karena hal-hal tersebut, perubahan budaya yang implisit pada pembentukan pasar bebas global: ke arah penurunan tanggung jawab bersama dari masyarakat untuk semua anggotanya dan pembukaan budaya individualisme yang kompetitif. Ini cocok dengan permintaan budaya yang ditransformasikan dari demokrasi di mana operasi pasar ditempatkan di luar pencapaian negara demokrasi.
Seperti yang Karl Polanyi katakan, perubahan ini penting
Akhirnya...kontrol dari sistem ekonomi oleh pasar meliputi konsekuensi pada keseluruhan organisasi dalam masyarakat. Di samping ekonomi diwujudkan dalam hubungan sosial, hubungan sosial diwujudkan dalam sistem ekonomi.
Penciptaan pasar bebas global juga mengimplikasikan terjadinya budaya di mana pasar dibebaskan dari kewajiban sosial dengan melepaskan pengejawantahan mereka pada hubungan sosial dari budaya atau negara.
Tapi apakah memang demikian? Kita, faktanya, terkurung oleh cara yang sama dari perkembangan modal di mana negara dan warganya hanya dapat menerima? Analisis yang lebih luas memperlihatkan indikasi bahwa tidak ada apa-apa, yang secara historis tidak dapat dielakkan, mengenai kemenangan dari proyek global mengenai neo-liberalisme dan adanya fakta sejumlah perbedaan yang sudah ada dan yang mungkin ada. Juga muncul kekuatan politik untuk menekan perbedaan pendapat dengan tujuan untuk menegaskan keunggulan sosial melebihi semata-mata tekanan ekonomi.
Pilihan Kapitalisme, Pilihan Negara
Sebagai contoh, Martin dan Schumann membedakan antara komitmen sosial demokrasi yang anggotanya adalah komunitas Eropa dan komitmen laissez-faire dari AS. Mereka membangun masa kini sebagai medan pertarungan antara kemenangan kapitalisme Amerika, terbebas dari belenggu demokrasi dan negara, dan lahirnya komunitas Eropa yang belum membangun hubungan baru (masih bertahan) anatara proses globalisasi dan negara sosial demokrasi. Pertarungan selanjutnya bertujuan yang sama. Proyek Eropa adalah membangun pasar yang terintegrasi dan sistem politik dengan skala yang sama sebagai lawan dari hegemoni AS. Komitmen Blair dan Schroeder pada politik Jalan Ketiga dapat menjadi indikasi pada kemungkinan ini, walaupun Inggris melanjutkan pertentangan mengenai identitas Eropanya dan Blair menutup hubungan dengan konsensus post-Washington yang mengindikasikan Inggris bukan Eropa. Kuda Troya dan politik Jalan Ketiga mungkin menjadi ‘Thatcher tanpa tas tangan’. Namun, dapat menjadi baik jika pengembangan terintegrasi Eropa secara politik dan ekonomi dapat mengembangkan semangat, keseimbangan, pilihan demokrasi secara sosial, walaupun ada banyak rintangan untuk mencapainya.
Tetapi, seperti yang Gray katakan, perbedaan AS dan Eropa mengenai kapitalisme global bukan hanya alternatif. Faktanya, Eropa dan AS membagi tradisi umum dalam konteks proyek Pencerahan. Dalam hal ini keduanya berbeda dari bentuk kapitalisme yang ditanamkan di kebudayaan lain. Sejarah kapitalisme Rusia di abad 20 adalah sejarah mengenai dua proyek Barat, yang keduanya gagal untuk masuk ke dalam budaya dan tradisi politik Rusia.
Proyek pertama adalah Bolshevisme-usaha radikal memodernisasikan budaya petani miskin oleh negara. Kedua adalah shock therapy dari perkenalan marketisasi mengikuti keruntuhan Soviet. Keduanya gagal. Pada masing-masing kasus pemiskinan dan kematian dari golongan-golongan masyarakat Rusia terjadi. Gray menyatakan dengan yakin bahwa, ketika beberapa dari efek tersebut memberikan kondisi yang tak dapat dihindarkan oleh Rusia pada waktu yang bersangkutan, seperti contoh sebelumnya,
...tragedi dari shock therapy muncul dari fakta bahwa... teori-teori neo-liberal di mana shock therapy terjadi karena mengabaikan dua hal, yaitu memikul kebutuhan manusia dan keadaan dan tradisi Rusia.
Asumsi-asumsi tersebut mengabaikan dua hal, pemusatan negara di bawah sistem Soviet dan kelompok kriminal yang menyebabkan keberlangsungan kehidupan sehari-hari berada dalam sistem yang tidak stabil yang membuat keruntuhan lebih cepat.
Hasilnya, seperti yang Stehen Handelman telah amati, adalah:
Alat utama dari tersedianya modal untuk investasi domestik mengikuti keruntuhan Soviet (selain pinjaman asing) adalah peti simpanan dari partai komunis dan obshchaki, peti harta benda dari Thieves World (Dunia Kaum Tangan Panjang). Modal disalurkan ke perusahaan-perusahaan komersil, bank, toko-toko mewah dan hotel. Hal ini bukan hanya memicu ledakan konsumsi Rusia pertama kali tapi juga menggabungkan birokrat dan gangster menjadi bentuk Rusia yang unik yaitu bos kriminal-kawan kriminal
Permasalahan bagi Rusia kemudian bukan pada susunan pasar tapi pada susunan negara yang kuat yang dapat menjamin aturan hukum dan memperbaiki institusi-institusi lain dari negara yang dapat membuat masyarakat yang utuh menjadi mungkin.
Seperti yang Gray catatkan: ‘Pada Asia lainnya, kapitalisme juga memperlihatkan perbedaan signifikan satu dari yang lainnya,juga dari kapitalisme Barat.’ Seperti yang Gray katakan, kasus Jepang memberikan contoh berlanjutnya budaya dan struktur dari masa lalu yang feodal.
Perusahaan Jepang berkembang karena perubahan pada institusi yang diwarisi dari abad pertengahan. Ekonomi industri modern yang mulai dikembangkan Jepang pada dekade terakhir dari abad 19 memasukkan tata tertib sosial yang merupakan bagian paling vital yang terus menerus. Dipelopori oleh kelas ksatria yaitu samurai, modernisasi Jepang dimungkinkan terjadi karena tata tertib feodal yang merupakan titik awal tidak putus.
Hasil dari masyarakat feodal telah menjadi dasar kelas menengah, yang menjalankan jaringan kepercayaan lebih dari perjanjian dan yang memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi dan pemeliharaan dari wa (harmoni) antara kepentingan yang berkompetisi.
Sebaliknya, kapitalisme China yang berdasar kepercayaan dalam keluarga dan kepercayaan pada masalah yang penting jarang diperluas ke luar keluarga. Bisnis keluarga adalah inti kapitalisme China yang tidak sama dengan model firma dan pemikiran ekonomi yang berkarakteristik kapitalisme Barat. Juga tidak banyak persamaan dengan kapitalisme Jepang.
Sangat banyak perusahaan transnasional yang berbeda dengan kapitalisme Jepang, dengan budaya kerjasama dan kesetiaan mereka yang kuat, terbuka pada bimbingan pemerintah tapi memperlihatkan derajat otonomi yang tinggi pada strategi mereka, tidak punya lawan di antara bisnis China.
Meskipun demikian, skala kapitalisme China mengesankan. Selain potensi tanah daratan China itu sendiri, 40 juta anggota dari diaspora China secara kolektif mempunyai produk senilai 150-100 juta dolar. Bisnis mereka tersebar di seluruh Hong Kong, Singapura, Taiwan, Indonesia, Malaysia dan Filipina.
...secara khusus kecil, hubungan keluarga internal dan eksternal mereka-ketergantungan dan pribadi. Mereka percaya pada guanxi-koneksi, kewajiban timbal balik dan hubungan perundingan jangka panjang-lebih dari kewajiban perjanjian formal untuk persediaan dan dukungan mereka. Bahkan ketika bisnis China menjadi besar mereka tetap merupakan firma keluarga, dengan keputusan yang paling penting diambil oleh kepala keluarga, yaitu ayah. Baik di Taiwan dan China daratan perusahaan-perusahaan besar hampir selalu dimiliki negara. Bila keluarga memiliki bisnis yang besar, sering dihubungkan mereka mendapat perlindungan politik, atau karena mereka punya spesialisasi pada industri tertentu seperti perkapalan atau properti.
Kapitalisme Korea beda lagi di mana keluarga meluas menjadi klan-seperti susunan atau chaebol. Seperti yang Gray catatkan:
Chaebol Korea adalah institusi paternalistik, dengan pendiri keluarga tetap berposisi sebagai pembuat keputusan. Tapi mereka mengelola perusahaan dengan bekerja sama, sering mengarah pada dominasi pasar monopolistik atau oligopolistik, meluas ke luar keluarga.
Apa yang terlihat jelas dari laporan empiris dari berbagai kapitalisme dari dunia modern masing-masing menunjukkan kesepakatan bersama antara pasar, budaya, teknologi dan struktur sosial, termasuk negara. Lebih jauh, ketika inovasi teknologi merupakan mesin penggerak untuk merubah masing-masing situasi ini, terlihat sedikit fakta mengenai penyatuan model dari pasar bebas global yang dipelopori AS. Di tempat lain pun terlihat kecenderungan untuk mengabaikan negara serta menerima individualisme anarki dan kekuatan pasar tanpa halangan.
Negara yang Bertambah Buruk
Adalah Marx yang pertama meramalkan negara yang bertambah buruk-walaupun menurutnya hal ini terjadi sebagai akibat dari kemenangan para pekerja. Ironisnya, di akhir abad 20 ancaman terlihat datang dari kemenangan modal. Tetapi, meskipun diserang terus-menerus, negara masih tetap ada. Tentu saja, ada beberapa alasan bijak untuk keberlangsungannya. Pertama, seperti yang Adam Smith katakan beberapa waktu lalu, pasar hanya dapat ada ketika mereka dijamin oleh negara. Pasar pada level yang paling dasar membutuhkan kerangka kerja legislatif dan yudikatif yang menyediakan ketetapan dan kepastian dari masalah-masalah seperti pelaksanaan kontrak hukum yang diakui. Lebih jauh, negara dibutuhkan untuk memberi jaminan dan catatan kepemilikan properti. Lagi, karena negara adalah dasar dari pemeliharaan sosial dan stabilitas politik, juga merupakan dasar stabilitas ekonomi dari lingkungan di mana firma itu beroperasi.
...negara yang berkuasa bukanlah aktor kecil di dunia ekonomi yang kebijakannya mudah dielakkan. Mereka memegang peranan yang adil... Jika benar bahwa korporasi dapat melihat-lihat dunia untuk pajak dan pengaturan rezim yang mereka inginkan, juga benar bahwa resiko politik meningkat di banyak bagian dunia. Ketika negara rapuh maka lebih sulit untuk mengatur perpindahan produksi dan modal: tapi juga lebih sulit untuk bisnis berlangsung dengan menahan hubungan korporasi dengan pemerintah. Itu adalah batas kekuasaan keduanya, negara dan korporasi.
Multinasional tidak punya dan tidak bisa menanggung peran stabilisasi negara. Hasil dari negara yang berkuasa bukanlah mengenai menjadi absolut, walaupun beberapa dari kunci tanggung jawab mereka secara jelas dilemahkan oleh serangan terus-menerus dari pelaku pasar bebas. Ini diketahui oleh Bank Dunia dalam laporan perkembangan tahun 1997, dinyatakan bahwa:
Tentu, negara yang dikuasai pembangunan telah gagal. Tapi juga pembangunan tanpa negara... Sejarah telah berulang-ulang menunjukkan bahwa pemerintahan yang baik bukanlah kemewahan tapi kebutuhan vital. Tanpa negara yang efektif, pembangunan terus-menerus/berkelanjutan, baik ekonomi maupun sosial, tidak mungkin.
Apa yang korporasi butuhkan dari negara adalah stabilitas, dapat diandalkan dan kerangka legislatif yang konsisten di mana mereka dapat mengejar kepentingan mereka. Tetapi, lebih banyak lagi yang diinginkan warga negara dari negaranya.
...keamanan dari kekacauan sipil dan kekerasan kriminal bukanlah keseluruhan dari yang orang-orang inginkan dari pemerintah mereka. Mereka menginginkan keamanan dari kemiskinan, pengangguran dan pengusiran. Jika fungsi perlindungan negara tidak meluaskan kontrol pada resiko-resiko ini maka pemerintah tidak akan dirasakan sebagai pemerintahan yang sah oleh warga negaranya.
Bertambah jelas, persyaratan dasar legislatif dan institusi politik yang stabil dibutuhkan oleh pasar, keamanan pribadi, kesehatan dan pendidikan untuk warga negaranya.
Mungkin untuk persyaratan ini dapat diartikan lebih sempit dari itu, sebagai contoh, kesatuan wilayah diartikan semata-mata hanya pemeliharaan batas-batas fisik melalui militer; keamanan diartikan sebagai waktu penahanan dari pelanggaran terhadap properti dan orang; kesehatan diartikan sebagai harapan hidup; pendidikan diartikan sebagai standar minimal.
Tetapi, definisi minimal tersebut tidak cocok untuk waktu lama. Resiko-resiko dari apa yang warga negara harapkan dari perlindungan sekarang lebih luas dan membutuhkan lebih signifikan dalam cara dari perjanjian negara. Pada bagian kesatuan wilayah, sekarang harus termasuk tanggung jawab untuk masalah ekologi; pemeliharaan lingkungan yang terus-menerus, rehabilitasi penurunan lingkungan dan batas dari energi yang digunakan. Harus termasuk mekanisme untuk urusan perpindahan populasi dan memastikan proses yang tepat pada tempatnya untuk memastikan suksesnya penggabungan migran-migran tersebut. Dalam bagian keamanan, sekarang harus termasuk tidak hanya keamanan fisik tapi juga aman dari kemiskinan, pengangguran dan pengusiran. Pada bagian kesehatan, sekarang harus didefinisikan perlindungan terhadap resiko kesehatan dan mengembangkan komunitas kesehatan sama baiknya dengan akses universal pada perbaikan yang memadai dari perawatan kesehatan. Pada bagian pendidikan, sekarang harus didefinisikan tidak hanya akses untuk pendidikan dasar universal, tapi akses pad teknologi yang diterapkan untuk ilmu pengetahuan dan pembelajaran seumur hidup yang cocok dengan perkembangan masyarakat pem/terbelajar.
Masing-masing dari persoalan ini berhubungan langsung dengan kohesi sosial yang dengan cepat merubah dunia. Tanpa mekanisme seperti ini pembangunan masyarakat demokrasi yang berdasarkan prinsip inklusi dan saling percaya sebaik inovasi teknologi dan produksi adalah mungkin.
Permintaan-permintaan seperti ini pada negara berjalan dengan baik di luar permintaan minimal dari pasar bebas global. Tetapi, mereka mungkin hanya alternatif untuk munculnya pembagian sosial dan konstruksi dari aparat negara yang represif. Seperti Polanyi, Gray dan Martin dan Schumann amati, ini adalah pelajaran dari sejarah abad 20 yang harus dipelajari. Ada beberapa indikasi yang dapat kita pelajari. Usaha politik untuk menyeimbangkan kembali peran masing-masing negara dan pasar sedang berjalan pada saat ini.
Menyeimbangkan Kembali Negara dan Pasar
Di beberapa negara Barat telah teraniaya oleh praktek neo-liberal, usaha-usaha dibuat untuk mempertimbangkan kembali peran negara. Di beberapa negara Anglo-Saxon (Australia, New Zealand, Inggris, Jerman dan tingkat terbatas AS) perhatian yang besar ditunjukkan pada susunan Jalan Ketiga. Belum jelas apakah Jalan Ketiga, di samping beberapa catatan yang diberikan oleh pembelanya seperti Giddens (1998-2000). Tapi, karena Jalan Ketiga terlihat hanya permainan di kota, maka pantas untuk diuji.
Jalan Ketiga menganggap adanya Jalan Pertama dan Jalan Kedua (sebagai jalan telah lebih dulu ada). Jalan pertama didefinisikan sebagai sosialisme, yang menyebabkan penaklukan pasar untuk mengikuti arahan negara, termasuk produksi sebagai kepemilikan negara. Jalan kedua didefinisikan sebagai neo-liberalisme dan penaklukan negara pada kebutuhan modal, termasuk privatisasi dan marketisasi fungsi negara. Jalan ketiga dianjurkan sebagai kompromi antara jalan pertama dan jalan kedua. Yang lainnya, mengejek secara politik, melihatnya sebagai keterangan retoris pada jalan kedua, yang memberikan jalan kedua legitimasi politik yang lebih besar.
Eichbaum, dalam diskusi Blair/Clinton sebagai pendukung Jalan Ketiga, merangkum lima ide yang merupakan inti dari Jalan Ketiga:
... [A]penolakan terhadap kepemilikan negara; penerimaan perdagangan global dan investasi tak dapat dihindarkan, bahkan diinginkan; pandangan terhadap pasar tenaga kerja harus fleksibel; pandangan terhadap jaring pengaman sosial harus seimbang dan setiap orang mendapat pekerjaan; kepercayaan bahwa defisit anggaran dapat dihilangkan.
Robert Reich, sekertaris tenaga kerja dalam kabinet Clinton berkomentar, jika semua ini tidak terlaksana, ‘Jalan Ketiga bukanlah Jalan Ketiga sama sekali. Akan menjadi Jalan Kedua, seperti yang dikobarkan Reagan dan Thatcher’ (1999: 48).
Menyeimbangkan Negara dan Pasar: Cara Ketiga
Wacana politik pada saat ini berpusat mengenai masalah yang diuraikan oleh Martin dan Schumann: dapatkah ekonomi global laissez-faire direkonsiliasikan dengan pembagian kesejahteraan dan pemerintahan demokrasi? Sejumlah pemimpin politik muncul untuk memikirkannya. Blair, Schroeder dan Clinton masing-masing mengumumkan komitmen mereka pada Jalan Ketiga. Ketika pengertian Jalan Ketiga sebagai proyek politik sedikit tak berbentuk, keadaan ini secara tepat disimpulkan/diringkas dalam tulisan bersama Blair-Schroederer berjudul Europe: The Third Way/Die Neue Mitte (1999). Mereka mengemukakan: “Fungsi inti dari pasar harus diimbangi dan diperbaiki oleh aksi politik, bukan dihambat olehnya”.
Pernyataan seperti itu mungkin, pada kesan pertama, menunjukkan keinginan untuk menerima apa yang Polanyi dan Adam Smith paling takutkan: subordinasi negara dan persemakmuran menjadi kondisi yang tidak stabil yang dihasilkan karena ekonomi laissez-faire. Tetapi, pendukung Jalan Ketiga menolak bahwa hal ini tidak begitu. Giddens, contohnya, membantah bahwa:
Negara melanjutkan peran dasarnya untuk bermain dalam ekonomi seperti di wilayah lain. Negara tidak bisa menggantikan pasar atau masyarakat sipil, tapi mereka butuh campur tangan pemerintah. Pemerintah seharusnya menciptakan stabilitas makro-ekonomi, memajukan investasi dalam bidang pendidikan dan infrastruktur, meratakan jaminan kesempatan individu untuk merealisasikan diri. Sistem kesejahteraan yang kuat, bukan jaring pengaman minimal, adalah bagian inti dari paket ini... Masyarakat yang baik adalah mereka yang menyebabkan keseimbangan antara pemerintah, pasar dan tata tertib sipil. Perlindungan dan perbaikan lingkungan sipil adalah kuci pemenuhan politik Jalan Ketiga.
Menurut banyak kritik, hal ini terlihat membahayakan seperti satu dari argumen kunci dari pembangunan ekonomi tradisional: bahwa peran utama dari negara adalah untuk menjamin persediaan modal tenaga kerja dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh pasar dan untuk menjamin stabilitas dan keamanan di antara populasi yang dapat mengganggu proses marketisasi global. Hukum dan tata tertib yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana para pemrotes di Davos, Melbourne dan sekarang Praha, di antara yang lainnnya, dapat dikendalikan oleh kekuasaan publik. Peran media adalah untuk memastikan pemrotes itu termarginalkan dan diusir dengan laporang yang menyatakan bahwa protes mereka sebagai komitmen dangkal pada kekerasan dan perusakan negara: pada dasarnya tidak demokratis.
Tetapi, proyek Jalan Ketiga diklaim oleh Giddens lebih dari sekedar pasar humanisme.
Politik Jalan Ketiga, seperti yang saya pahami, bukanlah usaha untuk menempati ranah tengah diantara sosialisme atas-bawah dan filsafat pasar bebas. Ini dipahami dengan restruktur doktrin demokrasi untuk merespon dua hal, revolusi globalisasi dan pengetahuan ekonomi.
Pembangunan Berasas Kebebasan
Jadi apa kaitan konflik antara hubungan pasar dan negara: konflik antar demokrasi sosial denga laissez-faire; dari ambiguitas Jalan Ketiga? Mungkin hal yang paling seimbang dan koheren dalam hal ini adalah agenda komprehensif dari Amartya Sen. Ia memenangkan nobel ekonomi tahun 1998 untuk dedikasinya bagi perkembangan ekonomi dunia ketiga. Ia adalah ekonom yang mengikuti tradisi Adam Smith yang berkonsentrasi pada kesejahteraan bangsa-bangsa (the wealth of nations) dan filsafat moral. Posisi dasar Sen dapat dilihat dalam bukunya pembangunan berasas kebebasan. Dia menyatakan ada lima landasan empiris dari kebebsan yang termaktub dalam pembangunan yaitu kebebasan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan transparan dan perlindungan keamanan. Kebebasan-kebebasan ini bersifat saling ketergantungan. Keduanya merupakan tujuan dari pembangunan dan juga terkonstitusi di dalam pembangunan itu sendiri.
Kebebasan tidak hanya tujuan utama dari pembangunan; tetapi juga prinsip. Dalam rangka menjawab secara mendasar pentingnya evaluasi dari kebebasan, kita juga harus memahami hubungan empiris yang menghubungkan kebebasan memahami perbedaan dengan yang lain. Kebebasan politik (dalam bentuk kebebasan berbicara dan hak pilih) membantu meningkatkan keamanan ekonomi. Kesempatan sosial (dalam bentuk pendidikan dan fasilitas kesehatan) memfasilitasi partisispasi ekonomi. Fasilitas ekonomi (dalam bentuk kesempatan untuk berparrtisispasi dalam perdagangan dan produksi) dapat membantu menjamin kepemilikan pribadi sama baiknya dengan jaminan kepemilikan umum untuk fasilitas sosial. Kebebasan dari bentuk perbedaan dapat memperkuat satu sama lain.
Sen merinci lima kebebasan sebagai berikut:
Kebebasan politik, secara luas dipahami (termasuk apa yang disebut hak-hak sipil) kesempatan yang orang punya untuk menentukan siapa seharusnya yang memerintah dan dengan prinsip apa, juga termasuk kemungkinan untuk meneliti dan mengkritik penguasa, punya kebebasan politik untuk berekspresi dan pers yang tidak disensor, menikmati kebebasan memilih di antara partai politik yang berbeda dan seterusnya.
Fasilitas ekonomi berarti kesempatan yang individu nikmati berturut-turut untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi untuk tujuan konsumsi, atau produksi atau pertukaran (kurs)... Proses pembangunan ekonomi meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan suatu negara, mereka digambarkan melalui persamaan peningkatan dari hak ekonomi masyarakat. Jelas bahwa hubungan antara pendapatan nasional dan kesejahteraan, di satu pihak, dan hak-hak ekonomi individu (atau keluarga), di lain pihak, perhatian mengenai distribusinya adalah penting, untuk menjumlahkan keseluruhannya. Bagaimana jumlah pendapatan didistribusikan akan secara jelas membuat perbedaan.
Kesempatan sosial berarti susunan yang masyarakat buat untuk pendidikan, kesehatan dan seterusnya, yang mempengaruhi substansi kebebasan individu untuk hidup lebih baik. Fasilitas ini tidak hanya penting untuk mengatur kehidupan pribadi (seperti tinggal di hidup sehat dan menghindari pencegahan kematian prematur dan abnormal) tapi juga partisipasi yang lebih efektif dalam aktivitas ekonomi dan politik.
Jaminan transparansi menyangkut kebutuhan untuk keterbukaan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat: kebebasan yang menyangkut orang per orang berdasarkan jaminan keterbukaan dan kejelasan. Ketika rasa percaya itu dilanggar, kehidupan banyak orang-bagian langsung maupun bagian ketiga-akan dirugikan karena kurangnya keterbukaan. Jaminan transparansi dapat menjadi kategori penting dalam kebebasan instrumental.
Perlindungan keamanan dibutuhkan untuk jaring pengaman sosial untuk mencegah pengaruh populasi dari pengurangan kemiskinan yang menyengsarakan, dalam beberapa hal bahkan kelaparan dan kematian.
Berdasarkan pada karakter fundamental dari kebebasan-kebebasan ini, Sen bersandar pada pemahaman instrumental neo-liberalisme yang berhubungan dengan komitmennya terhadap jalan ketiga. Bagi Sen, persoalan ini bukan hanya syarat bagi kebebasan yang memperbesar kesempatan untuk pembangun pasar dan penciptaan kesejahteraan. Pengembangan dari modal manusia di dalam produksi bukanlah sebuah pembenaran bagi bentuk kehidupan yang berharga, baik untuk individu atau untuk masyarakat.
Di sini Sen membedakan antara batasan konsep dari bentuk modal manusia dan konsep pertahanan dalam kapabilitas manusia.
Resiko penyederhanaan yang berlebihan, yang mengatakan permasalahan modal manusia cenderung mengkonsentrasikan agensi manusia yang dapat memperbesar kemungkinan produksi. Sudut pandang kapabilitas manusia berfokus pada kemampuan masyarakat untuk mengarahkan kehidupan di mana mereka memiliki alasan untuk menilai dan memperluas pilihan nyata yang mereka miliki.
Dia mengkontekstualisasikan kebutuhan untuk menginvestasikan bentukan modal manusia di dalam perspektif tujuan sosial yang valuatif (bernilai) yang tidak hanya bersifat ekonomis:
Peran kualitas manusia dalam memproduksi dan melanjutkan pertumbuhan ekonomi, tidak memberi jawaban mengapa pertumbuhan ekonomi dilihat di tempat pertama (dunia pertama). Jika fokus utamanya adalah pada perluasan kebebasan manusia untuk membangun berbagai macam kehidupan yang orang dapat menilainya (kehidupan itu), kemudian peran pertumbuhan ekonomi dalam memperlua kesempatan itu harus diitegrasikan ke dalam pemahaman yang lebih mendasar dari proses pembangunan sebagai pengembangan kapabilitas manusia untuk mengarahkan kehidupan yang lebih bermakna dan lebih bebas.
Dalam pembahasan tentang kebebasan, pembangunan di dalam institusi sosial yang sama baiknya dengan pembangunan pasar, adalah penting.
Keberagaman institusi sosial yang berhubung pada operasi pasar, administrasi, legislatif, partai politik, organisasi non pemerintah, pengadilan, media dan komunitas umum-berkontribusi dalam proses pembangunan dengan tepat melalui pengaruh mereka di dalam memperluas dan melanjutkan kebebasan individual. Analisis pembangunan berhubungan dengan pemahaman yang terintegrasi dari peran masing-masing institusi yang berbeda. Pembentukan nilai dan kemunculan etika sosial juga merupakan bagian dari proses pembangunan yang harus diperhatikan bersamaan dengan bekerjanya pasar dan institusi lainnya.
Apa yang ditawarkan Sen dalam analisis pambangunan yang berasaskan kebebasan adalah pendekatan yang terintegrasi bagi pembangunan berkelanjutan dari kapabilitas manusia dan tingkatan struktur internasional-seperti bentuk tertentu negara, pasar, masyarakat sipil-yang mendukung dan memperluas kebebasan manusia. Pandangan yang menyeluruh memberikan tujuan pembangunan yang dapat mengembalikan ekonomi ke kondisi semula dalam masyarakat. Ini mempertegas kembali pernyataan Adam Smith dalam penilaiannya terhadap tujuan kesejahteraan bangsa-bangsa (the wealth of nations) yaitu pembangunan persemakmuran. Penekanan pada keutamaan individu dan pembangunan sosial melampaui ekonomi secara murni. Lebih jauh, Sen juga menempatkan struktur evaluatif di dalam bagian utama proposalnya, yang salah satunya yang mengatakan bahwa pembangunan dapat dievaluasi oleh individu dan sosial sebagaimana ketentuan ekonomi.
Pengembangan Berasas Kebebasan untuk Pemimpin Pendidikan
Jika kita kembali membicarakan implikasi dari pembangunan berasas kebebasan sebagai pemimpin pendidikan kita dapat memahami bahwa terdapatnya kerangka kerja yang luas dan seimbang untuk menjawab pertanyaan yang terdapat di dalam inti pencarian dari pengelolaan pendidikan (proses mendidik).
Perspektif yang diutarakan oleh Sen menyediakan seperangkat kriteria yang defensif (pertahanan) melawan baik perkembangan individual maupun sosial yang mungkin diperkirakan. Hal tersebut juga merupakan perspektif yang dapat membuktikan kebebasan dan kebertujuan untuk pendidik dengan cara yang tidak dogmatis. Secara partikular perspektif seperti itu melampaui konstruksi instrumental secara sempit dari kebijakan pendidikan saat ini. Sebagai contoh, pemulihan pendidikan sebagai prioritas nasional dalam kemajuan masyarakat industri yang secara ekslusif berhubungan dengan pertahanan ekonomi nasional di dalam dunia yang kompetitif di mana ekonomi produksi saling susul-menyusul dengan ekonomi pengetahuan. Sehingga, peningkatan dari institusi yang memproduksi pengetahuan dan industri menyediakan puncak kompetisi nasional. Perkembangan dari ekonomi pengetahuan bergantung pada keahlian dan kemampuan untuk melampaui mekanisme yang sesuai dengan bentukan modal manusia. Di dalam kompetisi laissez-faire untuk pasar global, produksi dan keuntungan teknis, institusi pendidikan dipahami sebagai hal yang penting baik di dalam pembentukan keahlian maupun pembentukan sikap. Kompeten secara teknis, ketenangan sosial dan individu yang memiliki kompetisi tinggi, adalah apa yang disyaratkan.
Demokrasi sosial adalah juga waspada terhadap pendekatan laissez-faire yang menghasilkan kesalahan distribusi yang signifikan di antara negara-negara. Karena itu sekolah harus digantikan dengan memperbarui konsekuensi sosial yang terbagi berdasarkan mekanisme yang sesuai dan meyakinkan yang menampung mereka yang tersingkir dan teralienasi di dalam struktur kompetitif dari ketentuan pendidikan tetapi tanpa meberi apa-apa pada mereka.
Sudah jelas bahwa sistem pendidikan yang dibangun berdasarkan ketentuan tersebut akan menghadapi konflik dan kontradiksi serta menghasilkan kekecewaan yang besar bagi sebagain besar yang tersingkir sehingga harus bertanggung jawab. Lebih jauh, sebagaimana Ashton dan Green ucapkan, percampuran keahlian yang disyaratkan oleh ekonomi pengetahuan tidak bisa diprediksi. Inovasi teknologi yang konstan menuntut seperangkat keahlian baru yang berkelanjutan dan bagaimana keahlian itu dapat diterima nantinya. Kedua, mayoritas masyarakat berteknologi tinggi membutuhkan keahlian teknis yang lebih tinggi pula. Teknologi ini digunakan untuk menggantikan keahlian buruh-contohnya dalam industri komputer itu sendiri yang mendapat pengaruh dari pembaruan ini. Ketiga, sebagaimana diungkapkan oleh Bernstein tiga dekade lalu, sekolah tidak mengkompensasikan apa-apa bagi masyarakat, bahkan jika sekolah menghasilkan lulusan melek huruf, kemampuan hitung dan keahlian khusus yang tinggi, yang berada dalam ketidakpastian pasar kerja tidak menjamin bahwa semuanya mendapat pekerjaan yang baik. Lebih jauh lagi, jika ada pekerja dengan keahlian tinggi dengan jumlah berlebihan mengakibatkan mereka dibayar murah. Pengaruh terbesar dari kejadian ini adalah perpindahan dari ribuan pekerjaan memprogram komputer dari negara dengan dana besar seperti Amerika Utara dan Eropa hingga kota di India seperti Bangalore.
Jadi, bentukan modal manusia dan sistem pengelolaan pendidikan swadaya tidak bisa menjamin kemakmuran individual maupun perubahan ekonomi dan divisi sosial di dalam maupun di antara berbagai negara. Bagaimanapun, masih terdapat kemungkinan bahwa sistem pendidikan yang berdasarkan komitmen dari lima prinsip kebebasan yang diungkapkan Sen itu dapat mengatasi permasalahan tersebut, khususnya jika aktivitas ekonomi dan politik pada institusi yang lain dinilai bertentangan dengan kriteria awal.
Peran Pemimpin Pendidikan
Dari titik ini memungkinkan untuk melihat kembali pertanyaan di awal artikel ini: apa peran pemimpin pendidikan? Apa peran sejarah yang dapat menginformasikan pemahaman mereka? Ideologi apa yang dapat membenarkan prilaku mereka?
Dalam konteks tersebut peran utama dari pengembangan pendidikan dapat artikulasikan sebagaimana institusi pendidikan itu dapat mengembangkan dan mendukung lima prinsip kebebasan di dalam organisasi dan aktivitas mereka. Tapi bukan berarti bahwa prinsip mereka berlaku bagi semua. Tetapi resep tersebut harus dikembangkan oleh berbagai bangsa dan institusi. Akan menjadi prasyarat bagi institusi pendidikan untuk menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dipertemukan dengan keadaan masyarakat, kesejarahan, keadaan ekonomi dan politik yang partikular serta sumber daya apa (di dalam ekonomi dan institusi) yang dibutuhkan untuk menjalankan tanggung jawabnya.
Kedua, kepemimpinan pendidikan ini harus ditempatkan secara historis dan sosial untuk mengartikan komunitas khusus dimana mereka berhubungan. Keadaan ini dan analisis empiris dari kemungkinan individual dan sosial dan batasan mengenai lima kebebasan dapat mengembangkan dasar untuk mengartikan cara-cara khusus yang mengalamatkan kebutuhan pendidikan dari pelayanan individual dan komunitas.
Ketiga, ideologi yang akan membenarkan program pendidikan secara jelas terdapat dalam lima kebebasan dan keseimbangan mengenai pengalaman pendidikan dan aktivisme yang dicakup sebagai hasil analisis dari keadaan lokal.
Keempat, visi dari peradaban yang dapat menggerakkan pekerjaan pendidikan bukan berdasarkan pada kompetisi individu atau keuntungan sosial tetapi peningkatan kebebasan dari semua anggota komunitas untuk mencapai bentuk kehidupan yang dapat dihargai.
Kelima, tawaran dari pengetahuan yang mendukung kurikulum yang akan dijalankan bersamaan pengembangan kebebasan individu dalam konteks pengembangan bentuk institusi yang difasilitasi kebebasan-kebebasan ini: pengembangan bentuk pasar yang tepat, administrasi, badan pembuat undang-undang, partai politik, organisasi non pemerintah, pengadilan, media massa dan komunitas umum.
Keenam, motivasi yang dapat membentuk pedagogi adalah peningkatan perwakilan individu dalam keadaan tertentu di mana individu atau masyarakat tersebut berlokasi.
Ketujuh, nilai-nilai yang dapat menyokong evaluasi dari apa yang telah dilakukan bukanlah sesuatu yang sederhana untuk dipikirkan, untuk melawan ujian standar universal, tapi suatu penilaian dari perbedaan di dalam agensi individu dan sosial yang dicapai sebagai hasil dari kurikulum tertentu dan pedagogi dari institusi individual dan komunitas mereka.
Akhirnya, posisi ini membantu menyelesaikan permasalahan dimana studi administrasi pendidikan saya dimulai 20 tahun yang lalu: menemukan inti dinamika pada inti pencarian kepemimpinan pendidikan. Untuk administrasi pendidikan, disamping kebutuhan untuk analisis empiris, yang secara jelas bukan ilmu alam. Pun dapat meningkatkankan kembali administrasi pendidikan yang di usulkan oleh Greenfield dan Hodgkinson dengan sukses dikerjakan pada dasar dari nilai-nilai yang mereka usulkan.
Bagaimanapun, dapat menjadi mungkin bahwa administrasi pendidikan yang berdasar pada ide-ide pengembangan berdasarkan kebebasan yang diusulkan Sen dapat memastikan bahwa praktek administrasi pendidikan menjadi praktek kepemimpinan pendidikan. Jika kita menemukan jalan keluar dari semak-semak globalisasi maka kepemimpinan akan sangat dibutuhkan.

resume buku judul Manajemen Berbasis Sekolah

PENDAHULUAN

Implementasi MBS di Indonesiamendapat dukungan vesar dari berbagai lembaga donor internasional. Misalnya Selndia baru donor kepada AS guna mendukung pelaksanaan program ini. Lembaga donor internasional tidak kalah antisias membantu pelaksanaan MBS di negeri ini. Negara-negara yang yang telah menerapkan MBS meyakini bahwa pendekatan ini akan menjadi resep yangcukup efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara komprehesi.























BAB I
Berbagai Definisi tentang MBS

Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, bernasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Bernasisi memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asa. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan mmberi pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitusemula diatur oleh birokrasi diluar sekolah menuju pengelolaan yang bernasisi pada potensi internal sekolah itu sendiri.
Dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari school-Based Management ( SBM). Istilah ini mula-mula muncul di Amerika SErikat pada tahun 1970-an sebagai alternatifuntuk mereformasi pengelolaan pendidika atau sekolah. REformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahuntidak dapat menunjuka peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah. Tuntutan perubahan lingkungan sekolah dimaksudkan antara lain tuntutan dunia kerja, tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan social, ekonomi, hokum,dan politik. Lulusan sekolah- sekolah saat itu dibawah standar untuan berbagai bidang kebutuhan, yang mengakibatkan kekecewaan banyak kalangan yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Defenisi- defenisi yang ditemukan cukup bervariasi. Ada yang lingkupnya luas sekali seingga mencakup kawasn politis, ada pula yang bermakna lebih sempit, yaitu hanya mencakup kawsan operasional sekolah bahkan ada yang lebih spesifik, yaitu pada proses belajar mengajar di kelas saja. Namun demikian, pada intinya sama, yaitu terjadinya pegeseran kewenangan yang semula berada di tangan birokrasi pemeritah pusat ataupun daerah menu ke lingkungan sekolah.
Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat local guna memajukan sekolah. Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada bidang tertentu seperti yang dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakkan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah menyangkut bidang anggaran, personal, dan kurikulum.
Oleh karena itu, MBS memberikan hak control proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud kinerja sekolah adalah terjadinya lingkungan belajar yang efektif. Diyakini dengan adanya lingkungan belajar yang efektif maka prestasi belajar siswa, berupa prestasi akademik ataupun nonoakademik akan meningkat. Alasan ini sangat rasional karena lingkungan sekolahlah yang paling mengetahui bagaimana menciptakaan lingkungan belajar yang efektif bagi siswanya. Pelaksanaan MBS harus menentukan salah satu focus arah dan tujuan secara jelas, yaitu bagian mana kinerja sekolah yang akan ditingkatkan. Sulit untuk meningkatkan kinerja sekolah secara umum tanpa adanya arah yang jelas. Apakah akan trfokus pada mutu belajar siswa, mutu pengelolaan keuangan, mutu manajemen ekolah, mutu kurikulum, mutu personal, dan lain-lain. Dalam manajemen sekolah model MBS ini berarti tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah itu sendiri. OLeh karena itu, warga sekolah memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efekif demiperkembangan jangka panjang sekolah.
MBS adalah bentuk alternative sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang senralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efesiensi, serta manajemen yang bertumpu pada sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan , dan dikelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS juga memiliki potensi yang besar pula menciptakaan kepala sekolah, guru, dan administrator yang professional. DEngan demikian, sekolah akan bersifat responsive terhadap kebutuhan masing-masing siswa dapat optmalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat. MBS didefinisiskan sebagai desentarilasasi otoritas pengambilan keputusan pada tingkat keputusan pda tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga bidang , yaitu anggaran, kurikulum, dan personel. Dalam system MBS otoritas dapat dapat ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah., dari daerah pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah kedewan sekolah, dari dewan sekolah ke kepala sekolah , guru, administrator, konselor, pengembang kurikulum, dan orang tua. MBS adalah suatu bentuk administrasi pendidikan, dimana sekolah menjadi unit utama dalam pengambilan keputusan.

Hal ini berbeda dengan bentuk tradisional manajemen pendidikan, dimana birokrasi pemerintah pusat sangat dominant dalam proses pembuatan keputisan. Dalam hal ini MBS disebut sebagai School-Based Decision Making and managementyang secara tegas disebut bahwa refer to a form of educational administration in wich the school become the primary unit for decision making. Itdiffers from more tradisional from of educational administration in which a central bureaucracy dominated the decision making proses. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesa menyebutkan MBS dengan Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Secara umum MPMBS diartikan sebagai model menejemen yang memberikan otonomi lebih besar dari pada sekolah dan mendorong pengambila keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung seua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarka kebijakan pendidika nasional. MBS merrupakan strategi dalam rangka jmeningkatkan kualitas pendidikan negeri.


MenurutRaynolds(1997) didefinisikan menjadi tiga komponen pokok sebagai berikut:
Pendelegasian otoritas kepada masing-masing sekolah untuk membuat keputusan tentang program pendidikan sekolah yang meliputi kepegawaian, anggaran, dan program.
Pengabdosian model pengambilan keputusan bersama pada tingkat sekolah oleh tim manajemen yang meliputi kepala sekolah, para guru, orang tua siswa, dan kadang para siswa dan anggota masyarakat.
Suatu harapan akan mempermudah kepeimpinan pada tingkat sekolah dalam upaya meningkatkan kualitassekolah.
MBS di Indonesia yang menggunakan model MPMBS muncul karena beberapa alas an antara lain pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sendiri sehingga sekolah dapatmengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya,. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dlam pengambilan keputusan dapat menciptakan transparasi dan demokrasi yang sehat.

Alasan ekonomis seperti dijelaskan oleh King dan Ozler (1998) bahwa manajemen local dirasakan lebih efektif. Menurut mereka, para actor yang paling dirugikan atau diuntngkan dan yang akan paling memiliki informasi terbaik tentang apa yang terjadi di sekolah adalah paling baik untuk membuat keputusan yang sesuai. MBS menjadi sarana efektif untuk meningkatkan kemajuan sekolah. Peryataannya adalah kemajuan dalam bidang apa? Reynolds (1997) yakin bahwa MBS dapat membawa kemajuan dalam dua areayang saling tergantung, yaitu (a) kemajuan program pendidkan dan pelayanan kepada siswa, orang tua siswa, dan masyarakat, dan (b) kualitasd lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi. Tujuan penerapan MBS untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas kurikulum, kualitas sumber dayamanusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas pelayannan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatnya pengetahuan dan keterampilan, melainkan meningkatkan kesejahteraan juga. Sala stu keunggulan MBS adalah adanya pengetahuan kemampuan dan ekstisensi sumber daya manusia di sekolah. Tuntutan perlunya penerapan MBS semakin nyata seiring dengan perubahan karakteristik masyarakat. Perubahan dalam lingkungan social, politik, ekonomi, hukuman, pertahanan dan keamanan secara nasional, regional maupun gobal mendorong adanya perubahan pengetahuan, sikapdan keterampilan yang harus dimilik siswa.

MBS juga dapat dikatakan sebagai bentuk reformasi pendidikan. Reformasi sering dipersamakan dengan revolus. Dalam beberapa hal bias sama seperti adanya perubahan secara besar-besaran. Namun, kunci pkok yang membedakan reformasi dari revolusi adalah tidak adanya kekerasan dalam mengubah system dan tatanan yang sudah ada. Jadi reformasi dijadikan secara lebih sistematis, terprogram, manusiawi, dan gentle. Dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu, yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa lalu, keinginan untuk memperbaikkinya pada masa yang akan dating, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan reformasi, adanya pemikiran-pemikiran atay ide-ide baru, adanya system dalam suatu intuisi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti Negara sekalipun. Bila MBS sebagai bentuk refornasi pendidikan sebelum diterapkannya MBS tersebut kurang benar? Begitulah kenyataannya. Bila praktik pendidikan sebelumnya sudah benar dan baik berarti mutu pendidikan pun baik.




Tetapi, fakta berbicara lain bahwa dibanyak Negara, mutu pendidikan tidak bias diandalkan dibandingkan dengan tuntutan perkembangan lingkungan baik secara nasional, regional, global. Untuk itulah sector pendidkan perlu direformasi, dan dan alternative yang saat ini menggejala di seluruh dunia adalah melalui MBS. Reformasi pendidkan memiliki dua karakteristik dasar, yaitu terprogram dan sistematik. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatuisi pendidikan. Yang termasuk kedalam refornasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah tindakan memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara mencolok dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapakan.

Reformasi terprogram ini diterapakan langsung pada lingkup intiisi sekolah. Model ini sering kali dijalankan walaupun hasilnya kurang memuaskan seperti perubahan dan pengembangan kurikulum baru, penataran guru-guru, penggunaanmetode pengajaran baru, penggunaan alat evaluas baru, dan perbaikan sarana dan prasarana baru. Namun, reformasi terprogram itu masih berjalan sendiri-sendiri tanpa danya upaya kordinasi dan itegrasi secara menyeluruh. Reformasi sistematik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol system pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi diluar sekolah dan berada pada kekuatan social dan politik. Karakteristik reformasi sistematik ini sulit sekali diwujudakan karena menyangkut stuktur kekuasan. MBS sebagai bentuk reformasi pendidikan juga berhadapan dengan dua karakteristik ini, yaitu terprogram dan sistematik. Yang tampaknya banyak menjadi kendala dan reformasi model MBS ini adalah karakteristik sistematik. Oleh karena itu, MBS akan dapat berjalan dengan baik apabila lingungan birokrasi mendukung untuk dilakukan reformasi. Reformasi pendidkan tidak dapat diimpor dari Negara lain walaupun kedua negara itu memiliki karakteristik serupa. Secara lebih spesifik, MBS sebagai bentuk refornasi tidak dapat diambil secara mentah-mentah dari Negara lain tanpa memperhatikan kondisi setempat. Yang perlu diingat adalah penerapan MBS selalu memperhatikan latar belakang dan sejarah pendidikan di Negara yang bersangkutan kondisi spesifik masyarakatnya. Sebagai batang reformasi adalah berupa standar, struktur, dan tujuannya. Standar dan tujuan diadakannya reformasi harus jelas, karena tanp reformasi hanyalah sekedar upaya untuk berubah tanpa makna. Dalam konteks ini hal terpenting lain adalah adanya akuntabilitas dan transparasi untuk mengukur kemajun reformasi yang dijalankan. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah manajemen local, pemberdayaan guru, perhatian pada daerah setempat. Cabang reformasi ini menyangkut peningkatan kemampuan dan professionalisme para pelaksana pendidikan, para pengelola pendidikan di daerah dan di sekolah itu sendiri. Cabang reformasi sebagai karakteristik terprogram yang berupa inovasi-inovasi pendidikan. Daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyrakat setempat. Bagian ini adalah bagian yang pal;ing luar sekaligus paling luas. Bagian daun ini juga dekat dengan bagian akar, yaitu budaya dan kebiasaan hidup masyarakat setempat. Keempat bagian tersebut saling keterkaitan dan bergantung yang artinya apabila salah satu bagian tidak maksimal dalam perannya maka dapat menggangu jalannya reformasi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang harus menjadi pionir dalam upaya menggerakan reformasi itu? Jaeab relative, bergantung pada kondisi dan kedewasaan masyarakatnya. Reformasi pendidikan model MBS akan berlangsung dengan baik apabila digerakkan untuk berubah secara sistematis. Keempat bagian tersebut saling membantu suksesnya implementasi MBS. Artinya, mulai dari pola fikirmasyarakat luas dalam pengelolaan pendidikan harus diubah secar besar-besaran melalui paradigma baru pendidikan model MBS.


Selain itu, juaga terdapat tiga kondisi lain untuk terjadinya reformasi pendidikan, yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi. Stuktur organisasi yang harus dirubah adalah struktur organisasi dari intuisi yang mengurusi pendidikan itu sendiri, misalnya Indonesia adalah Departemen Pendidikan Nasional. Struktur organisasi lembaga tersebut harus dirampingkan sehingga sehingga mempermudah terjadiya reformasi pendidikan. Apabila reformasi pendidikan akan dijadikan sebagai kebijakan maka harus memenuhi empat tahapan. Menurut Levin tahapan-tahapan itu satu sama lain saling terkait, yaitu asal usulya (origin), yaitu dari mana datangnya usulan reformasi pendidika tersebut. Kedua, bagaimana mengadopsi( adoption) kebijakan tersebut yang akhirny menjadi peraturan atau perundang-undangan.

















BAB II
Reformasi Model MBS di Indonesia

A. Sejak digulirkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 Januari 2001, wacana desenralisasi pemerintahan ramai dikaji. Pendidikan termasuk bidang densentralisasikan kepemerintahan kota/ kabupaten. Melaluai desentralisasi pendidikan diharaplkan permasalahan pokok pendidikan, yaitu masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi, dan manajemen dapat terpecahkan. Mengapa perlu desentralisasi pendidikan? Berbagai studi tentang desentralisasi menunjukan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsure ketidakpastian, dan berada pada lingkungan yang cepat berubah tidak bias dikelola secara sentralistik. Dan salah satu model desentralisasi pendidikan adalah MBS.

Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikiran untuk mengkaji model MBS cocok dengan kondisi yang berbeda-beda. Bukan hanya perbedaan Negara, wilayah, provinsi, kabupaten, perbedaan antar kondisi sekolah pun menuntut adanya penerapan MBS yang lain. Walaupun berbeda-beda hakikatnya intinya ada persamaan yang mendasar. Reformasi pendidikan di banyak Negara dimulai dari decade 1970-an hingga 1980-an. Banyak sekolah diAmerika Serikat, Kanada, Australia yang berhasil menerapakn desentralisasi pendidikan model MBS. Melalui MBS seklah memiliki kewenangan dalam dalam pengambilankeputusan yang terkait langsung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah. Menurut Wohlstetter & Mohrman dkk (1994) terdapat empat sumber daya yang harus disentralisasikan yang pada hakikatnyamerupakan inti dari isi MBS, yaitu power/ authority, knowledge, information, dan reward. Keempatnya merupakan bagian yang tidak bias dipisahkan.


Sementara itu, menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang data didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut.
1. Perencanaan dan Evaluasi program sekolah
Sekolahdiberikan kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Termasuk dalam perencanaan adalah rencana pengembangan sekolah yang meliputi beberapa hal sebagai berikut; (1) visi dan misi sekolah, (2) indentifikasi timbulnya masalah, (3) prioritas permasalahan yang dihadapi sekolah untuk segera diselesaikan, (4) alternative cara pemecahan masalah, dll.
2. pengelolaan Kurikulum
sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dirkembang oleh Pemerintah Pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
· Pengelolaan prose belajar mengajar
· Pengelolaan ketenagaan
· Pengelolaan peralatan dan perlengkapan
· Pengelolaan keuangan
· Pelayannan siswa
· Hubungan sekolah dan masyarakat
· Pengelolaan iklim sekolah
Berbagai Teori tentang MBS
Teori MBS versus MKE seperti dikemukakan sebelumnya bahwa lebih dari 100 tahun sebelum diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pengelolaan sekolah ditentukan dan dikontrol oleh pihak luar sekolah. Sumber daya internal sekolah saat itu itu tidak memiliki peran yang berarti karena dianggap tidak mampu. Namun, sejak diterapkan MBS peran sumber daya internal sekolah diberdayakan dengan sungguh-sungguh. Pengelolaan sekolah yang dijalankan dengan adanysa kontrol dari luar sekolah disebut external control management( MKE). Dalam MKE setiap pengambilan keputusan ditetapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tanpa melibatkan pihak sekolah secara langsung. Sekolah sebagai intuisi yang melaksanakan keputusan yang ditetapkan oleh birokrasi di atasnya. MBS yang kini dipakai oleh sekolah-sekolah modern dikonradiksikan dengan MKE yang biasanya dipakai oleh sekolah-sekolah tradisional. MKE dicirikan dengan adanya control yang tekat dari pemerintah pada sistim pendidikan atau persekolahan. Dalam MKE tugas-tugas manajemen sekolah dijalankan di awah instruksi otoritas pusat-eksternal yang sering ka;I tidak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah.

Sementara itu, dalam MBS control eksternal hamper tidak ada sama sekali, control diberikan sepenuhnya pada pihak internal sekolah. Perencanaan kegiatan sekolah, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi atas program-program yang dijalankan di sekolah berada di bawah tanggung jawab sekolah sepenuhnya. MBS dan MKE berbeda dalam landasan teori manajemen yang dipakai untuk mengelola system persekolahan. Perbedaan-perbedaan kedua pendekatan pendidikan dan teori manajemen dapat diringkas pada table di bawah ini.









Tabel Teori Manajemen

Teori MBS versus Teori MKE
MBS MKE
Asumsi 1. Tujuan pendidikan 1.Tujuan
Tentang pendidikan itu bermacam-macam pendidkan
bukan tunggal. tunggal.
2. Lingkungan pendidikan 2. Lingkungan
yang kompleks dan yang sede
berubah. hana,statis.









B. Prinsip-prinsip MBS. Teori yang digunakan MBsuntuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip system pengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.
1. Prinsip ekuifinalitas
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah mnenurut kondisi mereka masing-masing.
2. prinsip DEsentralisas
desentalisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaaan sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan komplek sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.



3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
MBs tidak mengikari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara yang berbeda untuk mencapainya. MBS menyadari pentingnya untuk mempersilahkan sekolah menjadi system pengelolaan secara mandiri dibawah kebijakan sendiri.
4. prinsip Inisiatif Manusia
sejalan demgan perkembamgan pergerakan hubungan antara manusia dan pergerakan ilmu perilaku manajemen modern, orang mulai menaruh perhatian serius pada pengaruh penting factor manusia pada evektivitas organisasi. Berdasarkan perspektif in maka MBS bertujuan untuk membangun linkungan sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potebsinya.
MBS memiliki delapan karakteristik yang bertolak belakang dengan karakteristik MKE, yaitu:
· Misi Sekolah
Sekolah dengan MBS memiliki cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di dalam aktivitas pendidikan dan memberi arah kerja. Hal ini merupakan budaya organisasi yang besar pengaruhnya terhadap fungsi dan efektivitas sekolah.
· Hakikat Aktivitas Sekolah
Hakikat aktivitas sekolah berarti sekolah menjalankan aktivitas-aktivitas pendidikannya berdasarkan karakteristik, kebutuhan, dan situasi sekolah. Hakikat berbasis sekolah amat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan.


· Strategi-Strategi Manajemen
Perubahan arah dari MKE ke MBS dapat direfleksikan dalam aspek-aspek strategi manajemen berikut ini.
1. Konsep atau asumsi tentang hakikat manusia. Berlandaskan pada teori McGregor (1960) MBS menggunakan teori manajemen Y yang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Teori Y menyarankan bahwa partisipasi demokrasik, perkembangan professional dan kemajuan kemajuan kinerja penting untuk memotivasi guru dan siswa.
2. Konsep organisasi sekolah. Dalam organisasi modern, konsep organisasi telah berubah. Kini orang percaya bahwa sebuah organisasi adalah tempat untuk hidup dan berkembang.
3. Gaya pengambilan keputusan. Dalam MBs gaya pengambilan keputusan pada tingkat sekolah adalah melalui pembagian kekuasaan atau partisipasi.
4. gaya kepemimpinan. Menurut Sergiovanni (1984) terdapat lima tingkat kemimpinan kepala sekolah dari rendah ke tinggi, yaitu kepemimpinan kependidikan, kepemimpinan simbolik, dan kepemimpinan kebudayaan .



· Penggunaan Sumber Daya
MBS adalah model school-based budgeting program memberikan kekeluasaan kepala sekolah untuk memiliki otnomi yang lebih besar dalam mengadakan dan menggunakan sumber daya. Sedangkan dalam MKE sebagai besar sumber daya dan pengeluaran sekolah negeri diatur secara langsung oleh pemerintah.
· Perbedaan-perbedaan Peran
Peran warga sekolah secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh kebijakan manajemen pemerintah, misi sekolah, hakikat aktivitas sekolah, strategi-strategi pengelolaan internal sekolah, dan gaya penggunaan sumber daya. Perubahan model MBs menuntut peran aktif sekolh, administrasi, guru, orang tua.
· Hubungan Antarmanusia
Dalam terminology MBS menekankan hubungan antar manusia yang cenderung terbuka, bekerja sama, semangat tim, dan komitmen yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, iklim organisasi cenderung mengarah ke tipe komitmen. Iklim organisasi seperti gaya kepemimpinan, gaya tanpa sepemahaman, dan gaya control dapat merusak pengajaran, manajemen sekolah, dan mempengaruhi efektivitas sekolah.
· Kualitas Para Administrator
Dalam model MBS sekolah memiliki otonomi tertentu. Partisipasi dan perkembangan dipandang sebagai suatu yang penting dalam menghadapi tugas pendidikan yang kompleks dalam mencapai efektivitas pendidikan. Dalam kasus ini persyaratan administrator yang berkualitas sangat penting.


· Indicator-Indikator Efektivitas
Pada sekolah-sekolah yang dikontrol dari luar, perkembangan misi dan tujuan sekolah tidaklah penting. Pada sekolah tradisional indicator utama efektivitas sekolah adalah prestasi akademik pada suatu tungkat sekolah, dan mengabaikan proses pendidikan dan pencapaian penting lainnya. Dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indicator multi tingkat dan multisegi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu, penilaian efektivitas sekolah harus memperhatikan multitingkat, yaitu pada tingkat sekolah, kelompok, individual, dan indicator multisegi, yaitu mencakup input, proses, dan output sekolah di sampan perkembangan akademik siswa. Sementara itu, berdasarkan konsep MPMBS karakteristik MBS mencakup karakteristik output yang diharapkan, proses dan input.
a. Output yang diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang diharapkan, yaitu prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Output bias berupa prestasi akademik seperti NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba Bahasa Inggris, dll.
b. Proses
Sekolah yang efektivitas yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik, seperti proses belajar mengajar yang efektivitas tinggi.





BAB III
MBS untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

A. Perlunya Pendidikan Berkualitas
Kualitas memiliki dua konsep yang berbeda antara konsep absolute dan relative. Dalam konsep absolute sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak nada yang melebihi. Dalam konsep ini kualitas mirip dengan suatu kebaikan, kecantikan, kepercayaan yang ideal tanpa ada kompromi. Kualitas dalam makna absolute adalah yang terbaik, tercantik, terpercaya. Bila dipraktikkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolute ini bersifat elitis karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tinggi kepada peserta didik dan hanya sedikat siswa yang akan mampu membayarnya. Dalam konsep relative, kualitas bukan merupakan atribut dari produk atau jasa. Sesuatu dianggap berkualitas jika barang atau jasa memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Oleh karena itu, kualitas bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai alat ukur produk akhir dari standar yang ditentukn. Kualitas barang atau jasa dalam konsep relative ini tidak harus mahal, eksklusif, atau special karena barang berkualitas bias biasa-biasa aja., bersifat umum, dikenal banyak orang tetapi bias berkonoyasi cantik atau indah walaupun tidak penting sekali. Dalam konsep relative produk yang berkualitas adalah yang sesuai dengan tujuan. Definisi kualitas dalam konsep relative memiliki dua aspek, yaitu dilihat dari sudut pandang produsen maka kualitas adalah mengukur berdasarkan spesifikasi yang ditetapkan dan dari sudut pandang pelanggan maka kualitas untuk memenuhi tuntutan pelanggan.
B. Kualitas Pendidikan yang Direncanakan
Inti dari apa yang dikemukakan di atas adalah kualitas pendidikan harus ditingkatkan. Bagaimana caranya? Perlu diingat kembali bahwa pendidikan adalah jasa sehingga control sebelum pelayanan diberikan kepada pengguna akhir harus menjadi perhatian utama. Untuk menghasilkan pendidikan berkualitas maka program pendidikan harus direformasikan secara besar-besaran baik dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan lain-lain. Terdapat beberapa kondisi yang diperlukan untuk suksesnya perencanaan pendidikan, yaitu (1) adanya komitmen politik pada perencanaan pendidikan, (2) perencanaan pendidikan harus tahu betul apa yang menjadi hak, tugas dan tanggung jawabnya, (3) harus ada perbedaan yang tegas, antara area politis, teknis, dan administrative pada perencanaan pendidikan, (4) perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusa politis dan teknis, (5) perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah, (6) tugas utama perencanaan pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan alternative teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik pendidikan, (7) harus mengurangi polisasi pengetahuan, (8) harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini public terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidkan, (9) administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan dalam perencanaan pendidikan, dan (10) ketika pemerintahan tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan maka harus lebih diupayakan kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerinta- swasta-universitas yang memegang otoritas pendidikan. Selain itu, terdapat dua strategi penting dalam perencanaan pendidikan, yaitu, (1) penetapan target dan (2) penetapakan prioritas. Memperhatikan pembuatan program pendidikan yang berkualitas, kondisi-kondisi yang mendukung suksesnya perencanaan pendidikan dan strategi-strategi penting dalam perencanaan pendidikan maka perlu disusun langkah-langkah perencanan pendidikan. Langkah-langkah proses perencanaan pendidikan lingkungan Depdiknas biasa disebut Siklus Perencanaan. Langkah-lankah tersebut adalah kegiatan analisis keadaan sekarang, perkiraan keadaan yang akan dating, perumusan tujuan yang akan dicapai, analisis, dan diagnosis, pengembangan alternatif, proses pengambilan keputusan, penentuan kebijakn, penentuan program dan prioritas, perhitungan anggaran, perumusan rencana, evaluasi perencana dan revisi rencana.
C. Stategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti (1) meningkatkan ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangkut kompetensi dan kepengetahuan, memperbaiki tes bakat, sertifikasi kompetensi dan profi portfolio, (2) membentuk kelompoknsebaya untuk meningkatkan gairah pembelajaran melalui belajar secara koperatif, (3) mencapai kesempatan belajar baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap membuka sekolah pada jam-jam libur, (4) meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui penguasaan materi dan penghargaan atas pencapaian prestasi akaemik, (5) membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan keterampilan memperoleh pekerjaan, bertindak sebagai sumber kontak informal tenaga kerja, membimbing siswa menilai pekerjaan-pekerjaan, membimbing siswa membuat daftar riwayat hidupnya dan mengembangkan portfolio pncarian pekerjaan. Cara lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan menerapkan Total Quality Management (TQM). TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan terus menerus dimana lembaga pendidikan menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui kebutuhan, keinginan, harapan pelanggan saat ini dan di mana mendatang. TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. Namun, pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu (1) focus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, (2) memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas, (3) menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemcahan masalah, (4) memiliki komitmen jangka panjang, (5) membutuhkan kerja sama tim, (6) memperbaiki proses secara berkesinambungan, (7) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, (8) memberikan kebebasan yang terkendali, (9) memiliki kesatuan tujuan, dan (10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. Salah satu kunci keberhasilan penerapan TQM adalah penerapan konsep pelibatan dan pemberdayaan karyawan. Pelibatan karyawan adalah suatu proses untuk mengikutsertakan para karyawan adalah suatu proses untuk mengikuti srtakan karyawan pada semua tingkatkan organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Sementara itu, pemberdayaan karyawan adalah pelibatan karyawan yang benar-benar berarti (signifika). Pemberdayaan tidak sekadar memberi masukan, tetapi juga memperhatikan, mempertimbangkan, dan mengindahkan masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak. Tanpa adanya pemberdayaan maka pelibatan kartawan tidak adanya gunanya sehingga pelibatan karyawan harus bersegi pemberdayaan. Tujuan pelibatan dan pemberdayaan karyawan adalah untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam memberikan nilai-nilai pada pelanggan. Untuk memperdayakan karyawan dimulai dengan; (1) keinginan manajer dan supervisor untuk memberi tanggung jawab pada karyawan, (2) melatih supervisor dan karyawan mengenai bagaimana cara untuk melakukan dekegasi dan menerima tanggung jawab, (3) perlu komunikasi dan umpan balik antara manajer dan supervisor kepada karyawan, dan (4) perlu penghargaan dan pengakuan kepada karyawan. Terdapat beberapa penghambat penerapan pelibatan dan pemberdayaan karyawan, yaitu karena adanya penolakan manajemen, penolakan dari karyawan dan serikat pekerja atau organisasi profesi. Dan cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang kini menggejala di seluruh pelosok dunia adalah melalui MBS. Namun demikian, dalam MBS ini kualitas dilihat dari perspektif yang lebih luas daripada yang biasanya didefinisikan para pengamat dan ahli pendidikan sebelumnya. Kemajuan selolah dalam konteks MBS ini pun dilihat dari pandangan yang jauh lebih luas dari pemaknaan sebelumnya. Bagaimana MBS diangap berhasil? Bahwa keberhasilannya dinilai berhasil dalam konteks pengaruhnya dinilai berhasil dalam konteks pengaruhnya terhadap para siswa. Yang menjadi masalah adalah MBS bukanlah suatu program pengajaran atau strategi pembelajaran sehingga pengaruhnya kepada para siswa tidak langsung. Untuk mendapatkan kualiyas seperti seperti apa yang diinginkan maka MBS harus didesain secara matang. Fullan dan Watson (1999) mengajukan dua pertanyaan yang ditujukan kepada sekolah, yang meliputi (a) apa yang ingin kita coba raih, yaitu apakah akhir dari penerapan MBS ini? Dan (b) bagaimana cara mencapainya dan kondisi-kondisi apa yang berkaitan dengan pencapaian tujuanyang telah utama? Melalui dua peryataan itu kemudian mereka menyarankan bahwa MBS tidak berarti membiarkan desentralisasi sekolah dan masyarakat menurut cara mereka sendiri. Selain itu, Wohlsstetter dalam Watson (1999) memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen kunci reformasi MBS yang terdiri dari pertama, menetapkan secara jelas visi dan hasil yang diharapkan. Kedua, menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan. Misalnya: tingkat pembelajaran siswa yang lebih baik dan menyalurkan energi staf sekolah untuk mengubah kurikulum dan kebutuhan belajar untuk menghasilkan tingkat pembelajaran yang lebih baik. Ketiga, adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah. Keempat, tingkat kepemimpinan yang kuat dan dukungan politik dan dukungan kepemimpinan dari atas.
BAB IV
Model-Model MBS
A. Beberapa model manajemen Berbasis Kompetensi berbasis Sekolah yang dikemukakan di sini menunjukkkan kemiripan hamper di setiap Negara. Di suatu Negara MBS hanyamenekankan satu aspek atau beberapa aspek, seperti di Hongkong menekankan inisiatif sekolah, di Kanada menekankan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah, di Amerika Serikat menekankan pengelolaan sekolah di tingkat sekolah itu sendiri, di Australia model MBS adalah dengan memberikan kewenangan sekolah dalam hal kurikulum, flexsibilitas penggunaan sumber daya sekolah, dan beberapa alternative pengelolaan sekolah.
Di Prancis MBS memberikan partisipasi yang lebih besar pada badan pengelolaan sekolah. Sementara itu, di Nikaragua model MBS dengan munculnya sekolah otonom dalam hal personel, anggaran, kurikulum, dan pedagogi. Ada pula model MBS yang memfokuskan pada anggaran yang berbasis pada sekolah seperti di Selandia Baru. Pelibatan orang tua model MBS di El Savador. Di Madagaskar MBS difokuskan pada tingkat pendidikan dasar dengan melibatkan peran serta masyarakat. Sementara itu, model MBS di Indonesia mekenkan pada mutu yang terkenal dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Model MPMBS memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan feksibilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung kepada warga sekolah dan masyarat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua model MBS yang muncul mengarah pada satu titik., yaitu meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS ditiap-tiap Negara tak terlepas dari sejarah pendidikan Negara tersebut. Munculnya terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian difokuskan untuk meningkatkan kinerjanya. Beberapa Negara cukup jeli dalam mengalisis kelemahannya sehingga mampu membuat model MBS secara jelas dan focus, namun di beberapa Negara model MBS kurang focus dan melebar. Dari beberapa model MBS dibeberapa Negara yang telah dipakai oleh Negara-negara yang telah dijelaskan di atas ada model MBS yang ideal.
Model Lawler (1986) dengan keterlibatan tinggi dalam manajemen di sector swasta menyangkut empat hal, yaitu kekuasaan, informasi, penghargaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Informasi memungkinkan para individu berpartisipasi dalam mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami lingkungan organisasi, strategi, system kerja, persyaratan kinerja, dan tingkat kinerja. Pengetahuan da keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerja dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktik keorganisasian, kebijakan dan strategi. Penghargaan untuk menyatukakan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi. Secara tradisional keempat hal tersebutv dikonsentrasikan di puncak organisasi, namun pada model MBS dilimpahkan ke tingkat yang paling rendah., yaitu sekolah. Kebanyakan orang berpendapat bahwa penpendesentralisasian MBS hanya kepada kekuasaan, dan kurang memperhatikan hal lainnya.



A. peranan Masing-Masing Pihak dalam MBS
dalam MBS masing-masing pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus mmiliki peranaan yang sangat penting. Masing-masing pihak yang dimaksud adalah kantor pendidikan pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawasan sekolah, kepala sekolah, para guru, orang tua siswa, dan masyarakat luas.
Peranan Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, pengaturan kurikulum nasiona dan system penilaian hasil belajar, penetapan pedoman pelaksaan pendidikan, penetapan pembiayaan pendidikan, penetaapan persyaratan, sertifikasi siwa, warga belajar, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga keseteraan mutu antar daerah dan antar daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembetulan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.
Peran Dewan Sekolah dan Pengawasa Sekolah
Dewan sekolah akan memiliki peran untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas, menyatukan visi, memperjelas misi baik untuk pemerintah daerah maupun untuk sekolah itu sendiri. Dewan sekolah menentukan kebijakan sekolah, visi, misi sekolah dengan mengacu pada ketentuan nasional dan daerah. Oleh karena itu, anggota dewan sekolah sebaiknya diisi oleh meraka yang mampu menganalisis kebijakan pendidikan, mampu melakukan komunikasi dengan baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan di daerahnya.
A. Peran Kepala Sek0olah
Pada tingkat sekolah, kepala sekolah sebagai figure kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala sekolah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritas dalam program-program sekolah, kurikulum, dan keputusan personal, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk miningkatkan akuntabilitas keberhasilan siwa dan programnya. Kepala sekolah harus pandai dalam memimpin kelompok dan pendelegasian tugas dan wewenang.
B. Peran Para Guru dan Administrator
Pemberdayaan dan akuntabilitas guru dan administrator adalah syarat penting dalam MBS. Guru-guru memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan dengan berpartisipasi dalam perencanaan, pengembangan, monitoring, dan meningkatkan program pengajaran di dalam sekolah. Peran guru dalam MBS menurut Cheng (1996) adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan, dan pengimplementasi program pengajaran. Mereka bekerja sama dengan komitmen bersaman dan partisipasi bersama dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusime.
Agar para guru memiliki peran yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah maka perlu dilakukan desentralisasi pengetahuan. Terdapat dua jenis pengetahuan yang penting yang harus dimiliki oleh guru. Pertama, pengetahuan yang berkaitan dengan tanggung jawab partisipasi sekolah didalam rangka MBS. Yang termasuk dalam pengetahuan ini adalah cara mengorganisasi pertemuan-pertemuan, bagaimana cara meraih consensus, dan bagaimana cara membuat anggaran. Kedua, berkaitan dengan pengajaran dan perubahan program-program sekolah, diantaranya mencakup pengetahuan tentang pengajaran, dan kurikulum.
C. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Diknas RI menunjukan bahwa berdasarkan penilaian guru, tingkat partisipasi orang tua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih sangat rendah, yaitu rata-rata hanya 57,1 %. Partisipasi orang tua siswa yang sangat rendah ialah dalam menentukan kebijakan program sekolah dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstra kurikuler, dan pengembangan iklim sekolah. Partisipasi orang tua yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iuran BP3 per bulan dan sumbangan uang gedung untuk siswa. Memang selama ini sekolah terjadi jurang pemisah antara keluarga dan masyarakat. Bahkan terjadi anggapan bahwa sekolah adalah tempat penitipan anak karena orang tua tidak memiliki waktu untuk mendidik dan menjaga. Walaupun sekolah menjadi panti social bagi anaknya, apresiasi orang tua dan masyarakat masih amat rendah. Malangnya lagi selama ini belum ada upaya-upaya untuk menjembati jurang pemisah tersebut. Komunikasi orang tua dan masyarakat dengan sekolah hanya terjadi setahun sekali, itu pun ketika terjadi pemberitahuan perubahan besarnya iuran SPP dan BP3 atau pemberitahuan tunggakan yang harus dilunasi. Mandeknya komunikasi ini makin parah ketika timbulnya kekerasan bahwa diantara mereka terjadi perbedaan kelas social dan tidak ada kesamaan visi dalam mendidik siswa.sejalan dengan upaya reformasi pendidikan nasional melalui MBS, hubungan sekolah dengan keluarga sehingga tanggung jawab pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah. Dengan cara membentuk Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Persatuan Guru, dan Orang Tua Siswa, atau pun namanya untuk memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan. Orang tua aiawa harus menyediakan waktu sebanyak mungkin untuk berkunjung ke sekolah dank e kelas gunu mengontrol anaknya. Amat diperlukan diskusi dengan guru dan pembimbing siswa sehingga mengetahui hambatan dan kemajuan yang dialami anaknya.
BAB V
Faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi MBS
suatu program yang dicanangkan tidak akan berjalan dengan berhasil secara maksimal apabila tidak tersedia berbagai faktor pendukung. Factor pendukung bisa berasal baik dari internal maupun eksternal. Dalam implementasi MBS, secara luar dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik itu sekadar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Dukungan financial, dukungan sumber daya manusia beserta pemikirannya, dan sarana dan prasarana lainnya juga menjadi factor pendukung yang paling penting.
Ketika MBS baru tahap-tahap awal dilaksanakan di Amerika Serikat, factor pendukung sumber daya manusia belum memadai. Walaupun Site-Based Management ( SBM) telah popular di Amerika Serikat, manfaatnya belum banyak dimengerti secara baik oleh para pelaku pendidikan. Di banyak distrik SBM memiliki asumsi bahwa penerapan strategi ini akan mambimbing kea rah perbaikan kualitas keputusan dan meningkatkan program sekolah. Namun, banyak diantaranya mereka yang belum mengerti proses pencapaian tujuan MBS itu. Akhirnya, banyak waktu dan tenaga yang dicurahkan oleh para partisipasipan sekolah dalam implementasi MBS yang belum komplet tersebut. Konsekuensinya adalah munculnya kefrustasian, ketidakpuasan, menghabiskan tenaga dan akhirnya kembali pada pola sebelumnya. Oleh karena itu, pada tahap awal implementasi MBS harus dipersiapkan program sosialisasi yang matang agarc berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah menyadari akan pentingnya implementasi pendidikan.
Berdasarkan pengalaman Reynolds (1997) dalam menerapkan MBS di Amerika Serikat, yang paling memakan waktu adalah dalam membangun tim local yang berpusat pada tiga hal: yaitu isu-isu yang berkaitan dengan organisasi tim local dan upaya untuk mendefinisikan tujuannya, isu-isu yang berkaitan dengan manajemen di samping isu pengajaran, dan usulan yang ditolak oleh tingkat yang tinggi dalam suatu distrik.
A. Strategi Sukses Implementasi MBS
Studi literature ini diambil dari tulisan Oswald (1995) tentang School-Based Management, Kubick (1998) tentang School-Based Management and Student Performance, Wohlstter dan Mohrman (1993). Pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi implementasi MBS di suatu Negara lain bisa berlainan., antara lain satu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda, bahkan antara sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Secara um+um dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi berikut ini. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secar berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan intruksional serta non- instruksional. Sekolah harus banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimana pun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas. Ketiga, adanya kemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan secara umum. Kepala sekolah dalam MBs berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Bagaimanapun itu kepala sekolah adalah pemimpin yang memiliki kekuatan untuk itu. Keempat, adanya proses pengambilan yang demokrasi dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokrasi dan memperhatikan inspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pemimpinnya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jaawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Keenam, adanya guidelines dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mendorong proses pendidikan di sekolah secara efektif dan efisien. Ketujuh, sekolah harus memiliki transparasi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban tiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk tanggung jawab sekolah rterhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah hrus dijalankan secara transparan, demokrasi, dan terbuka dalam semua pihak yang terkait.
B. Masalah dan Kegagalan dalam Implementasi MBS
Dalam implementasi MBS juga dihadapi berbagai macam masalah seperi berbagai macam pihak terkait harus bekerja lebih banyak daripada sebelumnya, kurang efisien ( dalam jangka pendek karena salah satu tujuan MBS adalah terjadinya efisiensi pendidikan), kinerja sekolah yang tidak meraa, meningkatnya kebutuhan pengembangan staf, terjadinya kebingungan karena peran dan tanggung jawab yang baru, kesulitan dalam melakukan kordinasi dan masalah akuntabilitas. Penghambat lainnya yang sering muncul adalah kurangnya pengetahuan berbagai macam pihak tentang bagaimana MBS dapa bekerja dengan baik. Juga masalah kurangnya keterampilan unuk mengambil keputusan, ketidakmampuan dalam berkomunikasi, kurang kepercayaan antar pihak, ketidak jelasan peraturan tentang keterlibatan masing-masing pihak, ketidakjelasan peraturan tentang keterlibatan masing-masing pihak., dan keengganan administrator dan guru untuk memberikan kepercayaan pada pihak lain dalam mengambil keputusan. Wohlstetter dan Mohrman (1996) menyatakan terdapat empat macam kegagalan implementasi MBS. Pertama, penerapan MBS hanya sekedar mengadopsi model apa adanya tanpa upaya kreatif. MBS bukanlah model yang mati dan tidak ada satu model baku yang bisa diterapkan di semua sekolah dan semua daerah. Oleh karena itu, sekolah harus mengadopsi model MBS sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungannya masing-masing. Kedua, kepala sekolah bekerja berdasarkan agendanya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi seluruh anggota dewan sekolah. Sekolah harus mengajak dewan sekolah dan seluruh Stakeholder untuk membuat agenda. Kesepakaan atas agenda yang akan dijalankan ini harus menjadi pegangan utama kepala sekolah dalam menjalankan dan menerapkan MBS. Ketiga, kekuasaan pengambilan keputusan terpusat pada satu pihak dan cenderung semena-mena. Tidak ada sau pihak pun yang memiliki kekuasaan lebih dibandingkan pihak lain dalam pengambilan keputusanmodel MBS ini. Yang ada adalah saling memperhatikan kepentingan masing-masing pihak sehinnga keputusan yang diambil bisa seimbang dan adil. Keempat, mengangap bahwa MBS adalah hal biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan sendirinya. Pada hal dalam kenyaaan, implementasi MBS memakan waktu, tenaga, dan pikiran secara besar-besaran.
Pengalaman berbagai Negara menunjukan MBS akan bisa dinilai hasilnya setelah lebih dari empa tahun berjalan. Sejak September 1999, J. C. Tukiman Taruna menjadi pelaksana dan penanggung jawab langsung penerapan MBS 45 Sekolah Dasar atau Madrasah Iptidayah di Wilayah Profinsi Jawa Tengah. Ke 45 sekolah itu terbesar di tiga Kabupaten masing-masing lima belas sekolah (Sekolah Dasar Negeri, Sekolah Dasar Impres, Sekolah Dasar Swasta, Madrasah Iptidayah Negeri, Madrasah Iptidayah Swasta). Konsep MBS rata-rata telah diterima oleh semua pihak untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah.
Menurut Taruna, ada empat pemicu mendorong pentingnya konsep MBS untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pertama, empat pilar tujuan pendidikan tidak terlaksana dengan baik karena system penyelenggaraan yang sentralistik. Dimanapun kegiatan belajar mengajar itu berlangsung, proses itu seharusnya mampu menjawab damba ( harapan) murid dalam hal: (1) belajar untuk mengetahui, (2) belajar untuk melaksanakan, (3) belajar unuk hidup bersama, dan (4) belajar untuk kemandirian. Keempat damba murid dalam penyelenggaraan pebdidikan yang sentralistik suli terakomodasi di sekolah. Konsep MBS menawarkan desentralisasi berfikir, arinya memberikan atau membuka peluang agar kepala sekolah, guru dan juga murid sebagai subjek kegiatan belajar mengajar. Kedua, kepala sekolah selama ini idak berbuat banyak untuk kegiatan belajar mengajar, tetapi berbuat sangat banyak untuk urusan administrasi dan kedinasan. Ketiga, guru membuat kegiatan belajar mengajar di kelas menjadi sangat formal, mengajar secara kaku, dan buah dari semua itu adalah kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan sanga berat atau menekan.
Konsep MBS ingin memgubah semua yang memberatkan atau menekan itu menjadi suatu kegiatan belajar mengajar yang aktif dan menyenangkan. Keempat, akumulasi dari ketiga hal di atas tercermin dalam kualitas pendidikan yang cenderung rendah atau kurang baik. Kemerosotan mutu pendidikan menjadi sangat jelas seperti SD atau MI kelas tiga belum lancer membaca atau menulis. Disebutkan bahwa salah sau kunci MBS terletak pada sosialisasi lewat pelatihan paralel.
Berdasarkan pengalaman Reynolds (1997) dalam menerapkan MBS di Amerika Serikat, yang paling memakan waktu adalah dalam pembentukan tim-tim local yang terpusat pada tiga hal, yaitu isu-isu yang berkaitan dengan organisasi tim local dan upaya untuk mendefinisikan tujuannya, isu-isu yang berkaitan dengan manajemen di samping isu pengajaran, dan usulan yang ditolak oleh tingkat yang lebih tinggi di dalam suatu distrik. Selain itu, Reynolds juga mengemukakan bahwa terdapat sembilan kunci yang mendukung keberhasilan implemenasi SBM di sekolah, yaitu mengadopsian suatu perspektif yang lebih luas akan suatu system, memahami konteks perubahan, mengembangkan perspektif dan keterampilan kepemimpinan, menciptakan visi bersama, mengembangkan keterampilan strategi perencanaan, mendefinisikan peran baru, memperbaiki lingkungan kerja, pemahaman akan dinamika kelompok dan memperjelas akuntabilitasnya.
Menurut aruna, ada enam tolak ukur keberhasilan MBS, yaitu (a) berkurang sebanyak mungkin angka tinggal kelas erutama di kelas rendah, (b) berkurang sebanyak mungkin angka putus sekolah, (c) semakin berkenbangnya otonomi kepala sekolah dan guru-guru di sekolahnya sendiri, (d) semakin seringnya BP3 rapat memikirkan peningkatan mutu partisipasi orang tua murid dan masyarakat, (e) semakin banyaknya dukungan (bukan pengawasan) oleh pihak aparat Kecamatan dan Kabupaen erhadap sekolah,(f) semakin tercipanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas disepanjang hari.


Implemenasi MBS juga menghadapi sejumlah antangan seperti dikemukakan Bank Dunia. Pertama, tantangan demokrasi. Winkler dan Gershberg(1999) menyebukan bahwa MBS akan berjalan baik pada kondisi dimanapun demokrasi telah berjalan dengan baik.dan factor-faktor eksternal local juga mendukung. Namun, akan terjadi masalah apabila pengambilan keputusan local hanya dipegang oleh sebagian eli saja maka kesejaheraan social idak akan terjadi. Risiko ini akan lebih besar dimasyarakat yang hanya memiliki sediki pengalaman dalam demokrasi partisipaif pada tingkat local. Kedua, antangan lain adalah masalah keseimbangan keberhasilan. Perlu disadari oleh banyak kementerian pendidikan bahwa masalah utama dalam menimplementasikan MBS adalah untuk menyeimbangkan dan meningkakan difersifikasi, fleksibilitas, dan control local dengan tanggung jawabnya untuk meyakinkan bahwa: (a) penyediaan pendidikan dilakukan secara baik di seluruh negeri, (b) kualitas pendidikan di seluruh negeri hamper sama baiknya berdasarkan geografis, social ekonomi, dan etnik di dalam masyarakatnya. Ketiga, tantangan terakhir adalah yang berkaitan kurangnya bukti-bukti. Fullan danWatston (1999) memberi komenar bahwa penelitian terbaik dalam MBS mengidentifikasi factor-faktor dan kondisi yang berkaitan dengan keberhasilan, hal ini tidak menunjukkan kepada kita bagaimana menetapakn kondisi-kondisi tersebut ketika kondisi-kondisi tersebut tidak ada. Penelitian hanya memotret kasus-kasus yang berhasil yang sudah berjalan dan hanya memberi sedikit gambaran bagaimana mencapai kesuksesan tersebut.




C. Strategi Membentuk Akuntabilitas Sekolah
Pada era desentralisasi, otonomi dan keterbukaan ini semua pihak sepakat bahwa akuntabilitas public itu penting. Dengan demikian, institusi pendidikan dan lembaga yang terkait dengan pelayanan public juga dituntut untuk memiliki akunabilias. Menurut depui V Menteri Negara Pendayaangunaan Aparatur Negara Bidang Akuntabilitas Aparatur, Soemidiharjo bahwa dalam era otonomi daerah masing-masing institusi harus dapat membangun akuntabilitas peran dan fungsinya untuk dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
Selanjutnya, Soemidiharjo menyatakan bahwa erdapat tiga pilar utama yang menjadi prasyarat erbangunnya akunabilitas. Pertama, adanya transparasi dalam menetapkan kebijakan dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai institu. Kedua, adanya sandar kinerja yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang. Keiga, adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat. Tiga pilar akuntabilitas tersebu juga penting untuk dimiliki lembaga penyelenggaraan pendidikan sehingga pelayanan pendidikan bisa dipertanggung jawabkan kepada masyarakat luas. Sementara itu Darling- Hammond (1989) menguraikan aspek-aspek akuntabilitas pendidikan yang lebih mengarah pada akuntabilitas kelembagaan dan infrastrukturnya, yaitu political, legal, bucreaucratic, professional, market.



BAB VI
Kepemimpinan yang Efekif dalam MBS
Mengapa perlu ada pemimpin? Pemimpin diperlukan sedikitnya terdapat empat macam alasan, yaitu (a) karena banyak orang memerlukan figure pemimipin, (b) dalam beberapa situasi seorang pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, (c) sebagai tempa pengambilan resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, (d) sebagai tempa meleakkan kekuasaan.
A. definisi dan Teori kepemimpinan
kepemimpinan dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai kekuatan untuk menggerakan orang dan untuk mempengaruhi orang. Kepemimpinan adalah sebuah alat, sarana aau proses untuk memajukkan orang agar bersedia melakukan sesuatu secara sukarela. Ada bermacam-macam kekuatan( kekuasaan) yang dimiliki untuk menggerakan orang lain, yaitu karena ancaman, penghargaan, otoritas, dan bujukan. Praktik kepemimpinan berkaitan dengan mempengaruhi tingkah laku dan perasaan orang lain baik secara individual maupun kelompok dalam arahan tertentu. Kepemimpinan menunjuk pada proses untuk membantu mengarahkan dan mebolisasi orang aau ide-idenya. Dengan demikian, dapa diidentifikasi adanya beberapa komponen dalam kepemimpinan, yaitu (a) adanya pemimpin dan orang lain yang dipimimpin aau pengikutnya, (b) adanya upaya atau proses mempengaruhi dari pemimpin kepada orang lain melalui berbagai kekuatan, (c) adanya ujuan akhir yang ingin dicapai bersama dengan adanya kepemimpinan itu, (d) kepemimpinan bisa timbul dalam suatu organisasi atau tanpa adanya organisasi tertentu, (e) pemimpin dapat diangkat secara formal aau dipilih oleh para pengikunya. (f) kepemimpinan ada dalam situasi tertenu baik situasi pengikut maupun lingkungan eksternal. Teori tenang kepemimpinan terus berkembang dan hingga kini setiknya terdapat empat fase pendekatan. Pertama, pendekatan berdasarkan sifat-sifat (trait), kepribadian umum yang dimiliki seorang pemimpin. Kedua, berdasarkan pendekatan tingkah laku( behavior) pemimpin. Ketiga, berdasarkan pendekatan situasional( contingency). Keempa, pendekatan kembali kepada sifat aau cirri pemimpin yang menjadi acuan orang lain.
B. Perbedaan Pemimpin dengan Manajer
Pemimpin itu berbeda dengan manajer. Tidak semua pemimpin adalah manajer dan idak semua manajer adalah pemimpin. Pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin bisa muncul diunjukan atau karena keinginan kelompok, sedangkan manajer ditunjukan dan memiliki kekuasaan legiimasi untuk memberi penghargaan ataupun memberi hukuman pada pengikutnya. Kekuatan mempengaruhi para manajer karena dimilikinya otoritas formal bukan karena individual seperi kemampuannya.
Terdapat beberapa perbedaan antara manajer dengan pemimpin, yaitu (1) pemimpin memikirkan organisasinya dalam jangka panjang, (2) pemimpin memikirkan organisasi secara lebih luas baik menyangkut kondisi inernal, eksternal maupun kondisi global, (3) pemimpin mempengaruhi pengikunya sampai luar batas kekuasaannya, (4) pemimpin menekankan pada visi dan nilai-nilai yang tidak ampak mempengaruhi pengikutnya secara tidak rasional dan elemen-elemen ak sadar lainnya dalam hubungannya antara pemimpin dan pengikut, (5) pemimpin memiliki keteramp[ilan politik untuk mengaasi konflik diantara pengikunya,dan (6) pemimpin berfikir dalam upaya memperbaiki organisasinya.
Adapun kriteria kepemimpinan dan manajerial yang baik. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa criteria, antara lain: kepribadian, keterampilan, bakat, sifat-sifa yang dimiliki atau kewenangan.
C. Gaya dan Kemampuan Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan merupakan norma prilaku yang dipergunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi prilaku orang lain. Gaya kepemimpinan adalah suatu pola prilaku yang konsisten yang ditunjukan oleh pemimpin dan diketahui pihak lain ketika pemimpin berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiaan orang lain. Gaya kepemimpinan adalah pola ingkah laku yang lebih disukai oleh seorang pekerja. Gaya kepemimpinan adalah pola prilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Pemimpin dalam berinteraksi terhadap pengikutnya. Gaya kepemimpinan yang berkaitan dengan MBS adalah berkaian dengan proses mempengaruhi antara para pemimpin dengan para pengikunya. Secara khusus, gaya kepemimpinan dalam buku ini adalah gaya kepemimpinan parisifatif, yaitu kecenderungan kepemimpinan otokratif delegratif.
D. Kepemimpinan Transformasional dalam MBS
Dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangun Nasional 2000-2004 untuk sector pendidikan disebutkan akan perlu pelaksanaanya manajemen otonomi pendidikan. Perubahan manajemen pendidikan dari sentralistik ke desenralistik menurut proses pengambilan keputusan pendidikan menjadi lebih terbuka, dinamik, dan demokrasi.
Dalam melaksanakan MBS menurut Komite Reformasi Pendidikan, kepala sekolah perlu memiliki kepemimpinan yang kuat, partisipasi, dan demokratis. Dalam penerapan kepemimpinan transformasional pada era MBS ini.
· Kepala sekolah harus mengembangkan visi sekolah yang jelas.
· Kepala sekolah harus mengajak stakeholder untuk membangun komitmen secara bersama-sama untuk mencapai visi,misi, tujuan pendidikan.
· Kepala sekolah harus banyak berperan sebagai pemimpin didasarkan atas kekuasaan.
Apanila konsep MBS akan dilaksanakan, seiap kepala sekolah harus benar-benar seorang yang mampu menjawab tantangan local, sebagai komponen seempat ataupun nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kepala sekolah wajib memiliki wawasan yang sungguh luas cakupnya. Dia diharapkan menjadi pengambil kepuusan yang jitu dan bijaksana. Karena sekolah akan menjadi sebuah daerah yang wajib menampung kepentingan-kepentingan setempat, mulai dari pengembang kurikulum, ataupun politisi dan kelompok-kelompok kepentingan, semuanya perlu didengar dan diberi tempat dalam MBS.


I

BAB VII
Pengambilan Keputusan yang Efekif dalam MBS

Pengambilan keputusan harus dilakukan dengan hati-hati agar implementasi MBS dapat berjalan dengan baik. Apabila salah dalam proses pengambilan keputusan maka akibatnya ama luas.
A. Definisi Pengambilan Keputusan
Pertama, teori keputusan adalah metodelogi unuk menstruktur dan menganalisi siuasi yang idak pasti atau beresiko.
Kedua, pengambilan keputusan adalah proses mental dimana seorang manajer memperoleh dan menggunakan data dengan menayakan hal lainnya, menggeser jawaban untuk menemukan informasi yang relevan dan menganalisis daa, baik oleh manajer baik secara individual atau tim, dalam upaya mengatur dan mengawasi informasi terutama infirmasi bisnisnya.
B. Proses Pengambilan Keputusan
Model pengambilan keputusan rasional melalui enam langkah, yaitu(1) menetapkan masalah, (2) mengidentifikasi criteria keputusan, (3) mengalokasikan bobo pada criteria, (4) mengembangkan alternative, (5) mengevaluasi alternative, dan (6) memiliki alternative terbaik. Agar keputusan yang diambil dalam kerangka MBS memberi hasil yang maksima, pengambilan keputusan harus disadari pada adanya informasi selengkap munkin. Masalah yang akan diputuskan harus jelas, menyediakan berbagai alternatif pilihan dan disadari setiap konsekuensinya. Keputusan yang dibua pada tingkat sekolah dalam kerangka MBS adalah terdapat empa langkah dalam proses pengambilan kepuusan.
· Mula-mula sekolah membentuk Dewan Sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, orang tua siswa, anggoa masyarakat, staf sekolah, dan siswa.
· Dewan Sekolah melakukan pengukuran kebuuhan( need assessment) sekola.
· Dewan Sekolah mengembangkan perencanaan tindakan yang mencakup tujuan dan sasaran yang terukur.
· Langkah selanjutnya adalah mengambil keputusan yang bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu (a) Dewan Sekolah memberi saran-saran kepada kepala sekolah, yang selanjutnya kepela sekolah memutuskannya, dan (b) Dewan Sekolah mengambil keputusan. Kepala sekolah memiliki peran yang besar dalam pengambilan keputusan.

Adapun budaya sekolah yang mendukung implementasi MBS
Dalam MBS diuntut adanya perubahan budaya organisasi yang diarahkan pada pencapaian muu pendidikan, organisasi yang diarahkan pada pencapaian mutu pendidikan, aspek budaya memiliki peran yang cukup penting dalam mencapai mutu berkelanjutan.

Berbagai Studi Tentang MBS
A. Studi MBS di Nikaragua
Studi yang dilakukan oleh Fuller dan Rivarola(1988) menyangkut tiga hal, yaitu menyangkut masalah konteks sekolah, ooritas sekolah, dan mikro politik sekolah, dan isu-isu keorganisasian dan sumber daya sekolah.
B. Studi MBS di Amerika Serikat
Berdasarkan penelitian MBS di Amerika, kepala sekolah berhak mengontrol kurikulum, pengangkatan guru, dan disiplin sekolah yang dapat menghasilkan kemajuan yang seknifikan terhadap pendidikan disekolahnya.
C. Studi MBS di Indonesia
Memberikan kewenagan terhadap sekolah yang melaksanakan MBS agar dapat menjalankan reformasi pendidikan bersifat demokratis dan terbuka. Kewenangan terutama dipegang oleh kepala sekolah dan sekolah memerlukan dukungan yang penting dari guru, administrator, dan orang tua murid agar MBS berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya.

D. Ukuran Keberhasilan MBS
Keberhasilan MBS adalah apabila jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan senmakin meningka. Masalah siswa yang bisa mendaftar sekolah karena masalah ekonomi akan dipecahkan secara bersama-sama oleh warga seloah melalui subsidi silang dari mereka yang ekonominya lebih mampu. Mampu dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.